Nationalgeographic.co.id—Pernah menyaksikan suatu adegan di film di mana si tokoh utama sekarat lalu tiba-tiba adegan memutar kembali memori masa lalunya?
Tidakkah Anda bertanya-tanya, apa sebenarnya hal itu terjadi pada manusia di kenyataan?
Ada banyak misteri kematian manusia yang tidak pernah atau bahkan tidak akan terungkap. Terlebih mengenai eksistensi manusia itu sendiri adalah sebuah misteri. Kematian? Tabu sekali rasanya diperbincangkan. Peristiwa itu akan dialami oleh seluruh manusia tanpa terkecuali. Sebuah hal yang tidak dapat terelakkan.
Salah satu hal kerap terjadi di rumah sakit, di mana bermulanya sebuah kehidupan atau berakhirnya kehidupan seseorang. Namun, beberapa orang menyebutkan ‘keajaiban’. Yakni fenomena ketika seseorang yang sedang sekarat, secara tiba-tiba sembuh dan bersikap seperti biasanya, dan itu untuk mengecoh orang lain agar berpikir orang yang sekarat tersebut akan kembali sembuh. Nyatanya yang terjadi malah sebaliknya.
Sesaat sebelum ia benar-benar meninggalkan kehidupan, ia kembali ke tubuh normalnya hanya sebentar. Hal itu, di dalam dunia medis dikenal dengan terminal lucidity. Terminal lucidity, ini tidak dapat didiagnosis sama sekali. Bahkan tidak semua orang sakit akan mengalaminya, hanya terjadi pada beberapa orang yang mengalami penyakit otak seperti alzheimer.
Bahkan, hal yang sudah diketahui seperti fenomena ‘keajaiban’ ini, para peneliti belum bisa menemukan dan menentukan penyebabnya. Misteri - misteri seperti ini, membuat manusia mempertanyakan banyak hal lainnya.
Lalu, bagaimana dengan otak yang memutar kembali ingatan sesaat sebelum kematian menjemput?
Kajian berjudul “Enhanced Interplay of Neuronal Coherence and Coupling in the Dying Human Brain” yang ditulis oleh Raul Vicente dan timnya, menyampaikan hasil kajian mereka mengenai kejadian yang dialami oleh pria berusia 87 tahun sesaat sebelum kematiannya.
Artikel yang terbit di jurnal Frontiers in Aging Neuroscience itu merupakan laporan penelitian pertama yang mengukur bagaimana aktivitas otak manusia menjelang kematiannya.
“Pria berusia 87 tahun datang ke unit gawat darurat setelah terjatuh.” tulis Raul Vicente di artikelnya mengawali bagaimana kronologi kasus ini bisa diteliti. Setelah melakukan perawatan medis berupa operasi kepada pria tersebut, dua hari setelahnya ia kembali stabil. Namun sayangnya, kondisi pria itu kembali memburuk sesudahnya sebelum dinyatakan do-not-resuscitate (DNR).
DNR adalah perintah dalam istilah kedokteran yang berarti larangan untuk melakukan resusitasi jantung pada pasien. Melansir Cleveland Clinic, resusitasi jantung adalah prosedur penyelamatan kepada pasien yang jantungnya berhenti berdetak, dengan melibatkan pernafasan dari mulut ke mulut atau kompresi dada.
Baca Juga: Mengapa Kematian Ibu Bisa Jadi Peristiwa yang Mengubah Hidup Seseorang?
Prosedur penyelamatan? Bukankah seharusnya pria tersebut bisa selamat apabila dilakukan resusitasi jantung? Tidak semudah itu. Ada kondisi-kondisi di mana seseorang dilarang untuk resusitasi jantung, dan kondisi pria tersebut salah satunya. “Setelah berdiskusi dengan keluarga pasien dan mempertimbangkan status DNR pasien, tidak ada perawatan lebih lanjut yang diberikan dan pasien meninggal dunia.” tulisnya di akhir bagian laporan kasus.
Selama jantung pria tersebut belum berhenti hingga benar-benar tidak berdetak, alat-alat di rumah sakit merekam segala aktivitas yang terjadi pada tubuh pria itu. Salah satunya aktivitas otaknya menjelang henti jantung.
Alat yang digunakan untuk merekam aktivitas otak ialah elektroensefalografi atau EEG. EEG ini ditempelkan ke kulit kepala dan melalui itu, otak akan mengirimkan informasi berupa aktivitas yang terjadi di dalamnya ke komputer EEG
Ketika transisi menuju kematian, ada aktivitas berupa perubahan pada gelombang (osilasi) saraf objek penelitian (dalam hal ini si pasien pria). Biasanya, gelombang saraf ini hanya ditemui pada tubuh manusia yang masih hidup. Namun, faktanya di dalam rekaman, menunjukkan bahwa gelombang ini mengalami perubahan.
Gelombang saraf ini ternyata punya banyak jenis yang fungsinya juga berbeda, salah satunya gamma dan alpha. Gelombang alpha biasanya akan bereaksi ketika kemampuan kognitif digunakan, dan gelombang gamma ini akan merespon ketika otak memproses memori.
Sederhananya, kedua gelombang saraf ini mengalami ‘lonjakan’ frekuensi selama otak bertransisi menuju kematian. Lonjakan frekuensi ini, terutama ketika gelombang gamma yang bereaksi mirip dengan aktivitas ‘mengingat memori’ yang terjadi oleh manusia sehat juga ternyata bereaksi yang sama pada kondisi manusia pasca serangan jantung.
“Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan adanya interaksi yang rumit di antara gelombang saraf, setelah aktivitas serebral (aktivitas yang menggunakan indera) berhenti hingga pasca serangan jantung terjadi.” ungkap Raul dalam artikelnya.
Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut mengenai rekaman dari EEG mengenai ‘mengingat memori’ mendekati kematian, para peneliti ini juga mengkaji studi yang sama terhadap hewan pengerat. Sehingga menemukan kesamaan aktivitas yang terjadi pada otak di kondisi yang sama. Kenapa hewan pengerat? Karena hewan pengerat seperti tikus, memiliki struktur organ yang mirip dengan manusia.
Dalam kajian itu mereka juga menemukan bahwa pada hewan pengerat, ketika transisi menuju kematian memiliki aktivitas lonjakan gelombang saraf yang sama seperti manusia setelah henti jantung.
Tampaknya, diskusi tentang kehidupan dan kematian manusia tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Misteri-misteri ini sejatinya mungkin saja tidak akan pernah terungkap, bagaimana kematian menjemput atau bahkan kemunculan suatu kehidupan di muka bumi ini.
Manusia juga tidak henti-hentinya mempertanyakan banyak hal yang berujung menuntut untuk diselesaikan demi mendapat jawaban di luar kuasanya. Ada kalanya, sesuatu hal memang tidak perlu dipertanyakan.
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR