Bagaimana mekanisme ini bekerja di otak masih menjadi misteri. Seorang peneliti pernah menyebut daya tarik makanan pedas sebagai "risiko yang terkendali" atau "masokisme ringan." Namun, hingga kini belum ada studi neuroimaging atau data konkret yang dapat menjelaskan mekanisme pastinya di otak, kata Hayes.
Kecintaan terhadap makanan pedas juga bisa berkaitan dengan faktor sosial atau budaya. Sebuah studi tahun 2015 di jurnal Food Quality and Preference menemukan bahwa pria di Pennsylvania lebih dipengaruhi oleh motivasi sosial untuk menyukai makanan pedas dibandingkan wanita. Dengan kata lain, ada kemungkinan preferensi terhadap makanan pedas berhubungan dengan konsep maskulinitas.
Beberapa penelitian awal bahkan menghubungkan konsumsi makanan pedas dengan budaya machismo. Namun, penelitian tersebut tidak menemukan perbedaan preferensi pedas antara pria dan wanita dalam sampel yang diambil di Meksiko.
Teori lain menyatakan bahwa makanan pedas memberikan keuntungan evolusi di lingkungan panas, kata Nolden. Beberapa ahli menduga bahwa makanan pedas berguna di daerah beriklim panas karena dapat memicu keringat, yang pada akhirnya membantu mendinginkan tubuh.
"Ada juga faktor genetik yang belum sepenuhnya dipahami," tambah Nolden. Sudah diketahui bahwa semakin sering seseorang mengonsumsi makanan pedas, semakin tinggi toleransinya terhadap capsaicin.
Namun, beberapa orang memang terlahir dengan reseptor capsaicin yang kurang sensitif, sehingga mereka memiliki toleransi pedas yang lebih tinggi sejak awal, menurut studi tahun 2012 yang diterbitkan di jurnal Physiology and Behavior. Dengan kata lain, perbedaan preferensi makanan pedas sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik.
Bagi mereka yang kehilangan kemampuan untuk merasakan makanan, makanan pedas bisa menjadi cara untuk tetap menikmati pengalaman bersantap. Pasien kanker yang menjalani kemoterapi, misalnya, sering mengalami perubahan pada sel reseptor rasa di mulut, yang membuat makanan terasa pahit, berbau logam, atau berbeda dari biasanya.
Namun, karena sensasi pedas diproses oleh reseptor suhu, bukan reseptor rasa, sensasi panasnya tetap dapat dirasakan. Beberapa penelitian bahkan mengungkap bahwa pasien kanker cenderung mencari makanan pedas untuk meningkatkan pengalaman sensorik mereka selama atau setelah menjalani kemoterapi.
Dari faktor genetik hingga pengaruh budaya, dari dorongan evolusi hingga kecenderungan mengambil risiko—preferensi terhadap makanan pedas adalah hasil dari perpaduan kompleks antara biologi, psikologi, dan lingkungan. “Kemungkinan ini adalah kombinasi dari semua faktor tersebut,” pungkas Nolden.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR