Dalam situasi yang genting ini, Siwa mengambil tindakan yang berani. Ia menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa dan dengan cekatan mengumpulkan racun tersebut di telapak tangannya. Tanpa ragu, ia meminum racun itu, meskipun tahu bahwa hal itu akan membawa penderitaan yang luar biasa.
"Racun itu membakar tenggorokannya dan meninggalkan bekas biru permanen, oleh karena itu salah satu gelarnya menjadi Nilakantha atau Tenggorokan Biru," ungkap Cartwright.
Kisah lain yang tak kalah menarik adalah tentang hubungan erat antara Siwa dan Nandi, seekor banteng yang menjadi kendaraan dan pengikut setianya. Suatu hari, Surabhi, ibu dari semua sapi di dunia, melahirkan banyak sekali sapi putih yang sempurna. Susu dari sapi-sapi ini membanjiri kediaman Siwa, yang terletak di suatu tempat di pegunungan Himalaya yang tenang.
Siwa, yang sedang asyik bermeditasi, merasa terganggu dengan kejadian ini. Dengan marah, ia membuka mata ketiganya dan mengeluarkan api yang membakar kulit sapi-sapi tersebut, mengubah warna mereka menjadi coklat. Namun, kemarahan Siwa belum mereda.
Para dewa lainnya, yang menyaksikan kejadian itu, berusaha menenangkan Siwa dengan mempersembahkan seekor banteng yang luar biasa, yaitu Nandi, putra dari Surabhi dan Kasyapa. Siwa menerima persembahan tersebut dan menjadikan Nandi sebagai kendaraannya. Nandi tidak hanya menjadi kendaraan Siwa, tetapi juga pelindung bagi semua hewan.
Siwa juga sangat erat kaitannya dengan Lingga (atau Lingham), sebuah simbol falus yang ditemukan di kuil-kuil Siwa. Lingga melambangkan kesuburan dan energi ilahi. Kisah Lingga bermula setelah kematian Sarti, istri Siwa. Siwa, yang sangat berduka, pergi ke hutan Daru untuk tinggal bersama para rishi atau orang bijak.
Namun, kehadiran Siwa yang tampan dan berkarisma membuat istri-istri para rishi tertarik padanya. Para rishi, yang cemburu dengan hal ini, mencoba mencelakai Siwa. Mereka mengirimkan seekor antelop besar dan kemudian seekor harimau raksasa untuk menyerang Siwa, tetapi Siwa dengan mudah mengalahkan mereka.
Kemudian, para rishi mengutuk kejantanan Siwa, yang menyebabkan falusnya terlepas. Ketika falus itu menyentuh tanah, terjadilah gempa bumi yang dahsyat. Para rishi menjadi ketakutan dan memohon ampunan kepada Siwa. Siwa mengampuni mereka, tetapi ia memerintahkan mereka untuk menyembah falus tersebut sebagai Lingga, sebuah simbol yang akan mengingatkan mereka akan kekuatannya yang tak terbatas.
Bagaimana Dewa Siwa digambarkan dalam seni?
Dalam seni rupa Asia, penggambaran Siwa memiliki variasi yang menarik, mencerminkan kekayaan budaya yang berbeda-beda di seluruh benua ini, seperti di India, Kamboja, dan Jawa.
Meskipun terdapat perbedaan dalam detailnya, Siwa sering kali digambarkan dalam keadaan telanjang, dengan banyak lengan yang menunjukkan kekuatannya yang luar biasa, dan rambutnya yang diikat dengan rapi dalam sebuah sanggul yang megah. Pada dahinya, seringkali terdapat tiga garis horizontal serta mata vertikal ketiga.
Baca Juga: Kesakralan Pohon Beringin, Konservasi Warisan Leluhur Masyarakat Bali
Siwa juga sering terlihat mengenakan hiasan kepala yang indah, termasuk bulan sabit yang melambangkan hubungan eratnya dengan siklus waktu, dan tengkorak yang merupakan simbol dari kepala kelima Brahma, yang dipenggal oleh Siwa sebagai hukuman atas nafsu terlarang dewa tersebut terhadap putrinya sendiri, Sandhya.
Selain itu, ia juga mengenakan kalung kepala yang menambah kesan agungnya, serta ular sebagai gelang yang melingkar di pergelangan tangannya, melambangkan kekuasaan dan kendali atas makhluk hidup.
Dalam salah satu representasinya yang paling ikonik, Siwa menjelma sebagai Nataraja, sang Raja Tari. Dalam wujud ini, ia menari tarian kosmis Tandava di dalam lingkaran api yang tak terbatas, yang melambangkan siklus waktu yang terus berputar tanpa henti. Di tangannya, ia memegang api ilahi (agni) yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan alam semesta, serta drum (damaru) yang menghasilkan suara pertama dari penciptaan.
Salah satu tangannya menunjukkan isyarat abhayamudra yang memberikan rasa aman dan kedamaian bagi para pengikutnya, sementara tangan lainnya menunjuk ke kaki kirinya, yang merupakan simbol keselamatan dan jalan menuju pembebasan. Selain itu, Siwa juga menginjakkan satu kakinya pada sosok kurcaci Apasmara Purusha, yang melambangkan ilusi dan ketidaktahuan yang menyesatkan manusia dari kebenaran yang sejati.
"Selain itu, Siwa dapat juga digambarkan berdiri dengan satu kaki dengan kaki kanan ditekuk di depan lutut kiri dan memegang tasbih di tangan kanannya, postur khas meditasi pertapa," tutur Cartwright.
Kadang-kadang, Siwa juga terlihat menunggangi banteng putihnya yang setia, Nandi, sambil membawa busur perak (Pinaka) yang megah, memegang antelop yang lincah, dan mengenakan kulit harimau atau gajah yang melambangkan kehebatannya sebagai seorang pemburu yang ulung.
KOMENTAR