Elisa Yarusabra selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung menanggapi pemaparan Loni. Menurut Elisa, kampung wajib mengalokasikan dana kampung untuk kegiatan yang menyangkut pesta budaya. Ia juga mengingatkan bahwa aturan terkait kegiatan ini sudah ditetapkan. Perihal penganggaran kebudayaan, ia meminta kepala kampung untuk menelaah kembali pedoman teknisnya.
Bagai anak di ujung tanduk
Ketika saya berkesempatan singgah dan menjelajahi tepian hutan di perbukitannya, kampung ini memiliki potensi yang baik untuk mendukung kegiatan pertanian sebagai ketahanan pangan masyarakat setempat. Air melimpah, dan ragam tanaman ibarat anugerah.
Kasbi, betatas, keladi, naning atau gembili tumbuh berjebah di dalam tanah. Tajuk-tajuk pohon kelapa dan sagu tumbuh menjulang di kebun-kebun warga. Pun, papeda yang saya santap merupakan hasil dari kebun sagu milik keluarga Loni. Ia pernah berkata kepada saya saat kami menengok aktivitas menokok di kebun sagu milik keluarganya, "Satu batang pohon sagu bisa mencukupi kebutuhan keluarga dalam dua tahun."
Kendati pangan tampak melimpah, Petronela Hembring memaparkan sebuah ironi dalam cerita fotonya yang bertema kesehatan Kampung Imsar. Perempuan berusia 29 tahun itu sehari-hari bekerja sebagai pedagang sayuran di pasar.
Petronela mengisahkan bahwa sumber pendapatan warganya tergolong rendah karena hanya mengandalkan hasil bertani dan berkebun. Ia mengisahkan seorang petani yang hanya memiliki pendapatan sebesar 200 ribu per bulan untuk menghidupi tujuh anggota keluarganya—yakni satu istri dan enam orang anak—salah satunya balita.
"Keadaan ini menyebabkan salah seorang anaknya yang bayi mengalami ketimpangan gizi karena pola makan keluarga itu dua kali makan dalam sehari," kisah Petronela. "Itu pun untuk sekali makan anak-anaknya hanya dua sendok nasi." Sehari-hari keluarga itu hanya menyantap umbi dan pisang bakar, tanpa asupan protein yang mencukupi dari sumber hewani.
Selain bayi mereka, ia mengungkapkan bahwa masih terdapat sembilan bayi lain yang menderita ketimpangan gizi, baik yang mengalami kasus stunting atau tengkes maupun gizi buruk. "Menurut petugas kesehatan," ujarnya, "anak-anak yang mengalami ketimpangan gizi tersebut hanya mendapat perbaikan gizi pada saat ke posyandu sebulan sekali oleh petugas kesehatan dan puskesmas."
Anak-anak di kampung ini pernah mendapat bagian dalam program Baku Sehat yang diinisiasi oleh pemerintah Kabupaten Jayapura. Program ini bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui berbagai program pelayanan kesehatan dasar seperti menurunkan angka stunting melalui peningkatan gizi masyarakat. Ia menyesalkan bahwa program ini "hanya berlaku tiga bulan saja pada 2024."
Baca Juga: Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR