Nationalgeographic.co.id—"Jaga tana lino ho'o, jaga mata wae dite kudut jiri, wae teku tedeng."
"Jaga bumi ini, jaga mata air supaya menjadi sumber air yang selalu menyiapkan air, menjadi sumber mata air yang tak pernah mengering."
Dua tokoh agama Katolik mengadakan pertemuan di halaman rumah gendang (rumah adat) Manggarai di Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 14 Februari lalu. Keduanya adalah Ketua PSE Keuskupan Ruteng, RD. Jossy Erot, dan Romo Paroki Narang, Satarmese Barat, RD. Stefanus Sawu.
Keduanya memberkati bibit bambu dan buah-buahan yang tertata rapi di dalam rumah gadang. Bibit-bibit itu siap ditanam di tanah Manggarai.
Bibit-bibit itu merupakan bagian dari 500 bambu untuk konservasi mata air di beberapa desa di Kecamatan Satarmese Barat di wilayah Paroki Narang.
“Weri betong kudut kembus wae teku, mboas wae woang. Menanam bambu untuk kelimpahan air dan kesinambungan sumber mata air,” kata RD Josy Erot, saat memulai misa penanaman bambu, seperti dikutip dari keterangan tertulis Yayasan KEHATI.
Sementara itu, bibit buah-buahan seperti nangka, durian, dan mangga dibagikan untuk warga yang mengikuti penanaman. Selain dihadiri oleh warga desa, aparat desa dan tokoh adat, kegiatan ini diikuti oleh petugas Babinsa setempat.
“Semua elemen masyarakat kita ajak untuk ikut terlibat,” terang Yos Sudarso, Kordinator Program Yayasan AYO Indonesia, mitra kerja Yayasan KEHATI.
Kegiatan penanaman bibit bambu di Wae Wetu, Desa Terong, ini merupakan kerja sama antara Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Ruteng dan Yayasan AYO Indonesia yang didukung oleh Yayasan KEHATI.
“Selain pengembangan pangan lokal, pemberdayaan konservasi mata air menjadi salah satu kegiatan bersama masyarakat dalam bingkai program Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Lokal," ujar Puji Sumedi, Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI.
Baca Juga: Vitalnya Bambu Indonesia di Masa Dulu, Kini Andalan untuk Masa Depan
Melestarikan sumber daya air untuk anak cucu
Di wilayah Nusa Tenggara Timur yang kering, air menjadi persoalan serius. Setidaknya ada enam mata air di wilayah Terong yang debit airnya mulai berkurang. Salah satunya mata air di Wae Wetu, yang menjadi sumber air utama.
“Mata air ini menghidupi enam kampung atau lebih dari 700 kepala keluarga di wilayah desa dan sekitarnya,” tutur Theodirikus Atong, Kepala Desa Terong.
Sebelum penanaman bibit bambu, tokoh adat atau tua gendang memberikan penghormatan kepada leluhur agar merestui dan turut menjaga tanaman.
Menanam bambu menjadi pilihan dalam mengatisipasi kondisi bumi yang makin tak nyaman akibat perubahan iklim. Apalagi, dampaknya sudah terasa.
“Ketersediaan air semakin menipis. Harapannya, dengan meningkatnya vegetasi bambu, debit air di Wae Wetu meningkat,” tambah Atong.
Gerakan konservasi mata air akan terus dilakukan di wilayah Paroki Narang. Sebelumnya, penanaman serupa dilakukan bersama siswa sekolah di mata air Wae Ketang, yang menghidupi sekitar 1.000 jiwa.
Selanjutnya, penanaman akan dilakukan di mata air Wai Waning. Lalu penanaman dilanjutkan ke Wae Cober sumber air bagi 300 jiwa dan mengairi sawah seluas 25 hektare.
Pastor Paroki Narang, RD Stephanus Sawu, mengatakan bahwa manusia wajib melestarikan mata air sebagai wujud pemberian dari Tuhan dan merawatnya sebagai saudara.
Dia menegaskan di hari penanaman yang bertepatan dengan Hari Kasih Sayang itu, "Perlu tindakan nyata untuk semua orang, bahkan untuk anak cucu dan alam semesta. Konservasi mata air Wae Wetu menjadi tanda kasih sayang yang abadi."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR