Nationalgeographic.grid.id—Di masa lalu, masyarakat kuno mencari penyebab hilangnya bulan selama gerhana bulan. Mulai dari setan yang suka merampok, hewan peliharaan yang suka membunuh, dan jaguar yang rakus.
Banyak budaya kuno melihat gerhana matahari atau bulan sebagai tantangan terhadap tatanan normal, kata E. C. Krupp, direktur Observatorium Griffith di Los Angeles, California. “Hal-hal yang seharusnya tidak terjadi, justru terjadi.”
Apa saja ragam mitologi dari berbagai budaya terkait gerhana bulan?
Melolong ke bulan
“Suku Inca tidak melihat gerhana sebagai sesuatu yang baik,” kata David Dearborn, seorang peneliti di Laboratorium Nasional Lawrence Livermore di California.
Dearborn banyak menulis tentang bagaimana suku Inca memandang astronomi. Catatan yang ditulis oleh pemukim Spanyol di Dunia Baru mencatat praktik suku Inca di sekitar gerhana, katanya.
Di antara mitos yang dikumpulkan adalah cerita tentang seekor jaguar yang menyerang dan memakan bulan. Serangan kucing besar itu menjelaskan warna karat atau merah darah yang sering kali berubah pada bulan selama gerhana bulan total.
Suku Inca takut bahwa setelah menyerang bulan, jaguar akan jatuh ke Bumi untuk memakan orang, kata Dearborn.
Untuk mencegahnya, mereka akan mencoba mengusir predator tersebut dengan menggoyangkan tombak ke bulan dan membuat banyak suara. Suku Inca bahkan memukul anjing mereka agar melolong dan menggonggong.
Raja pengganti
Orang Mesopotamia kuno juga melihat gerhana bulan sebagai serangan terhadap bulan, kata Krupp. Namun dalam cerita mereka, penyerangnya adalah tujuh setan.
Baca Juga: Gerhana Bulan Total 13-14 Maret 2025: Penjelasan dan WIlayah Indonesia yang Bisa Melihatnya
Budaya tradisional menghubungkan apa yang terjadi di langit dengan keadaan di Bumi, katanya. Dan karena raja mewakili tanah dalam budaya Mesopotamia, orang-orang memandang gerhana bulan sebagai serangan terhadap raja mereka.
“Kita tahu dari catatan tertulis bahwa orang Mesopotamia memiliki kemampuan yang cukup untuk memprediksi gerhana bulan,” kata Krupp. Jadi untuk mengantisipasi gerhana, mereka akan mengangkat raja pengganti yang dimaksudkan untuk menanggung beban serangan apa pun.
“Biasanya, orang yang dinyatakan sebagai raja adalah seseorang yang mudah dikorbankan,” kata Krupp. Meskipun penggantinya tidak benar-benar berkuasa, ia akan diperlakukan dengan baik selama periode gerhana.
Sementara raja yang sebenarnya menyamar sebagai warga biasa. Setelah gerhana berlalu, “seperti yang Anda duga, raja pengganti biasanya menghilang,” kata Krupp, dan mungkin telah diracuni.
Menyembuhkan bulan
Mitos gerhana yang diceritakan oleh Hupa, suku asli Amerika dari California utara, memiliki akhir yang lebih bahagia.
Suku Hupa percaya bahwa bulan memiliki 20 istri dan banyak hewan peliharaan. Sebagian besar hewan peliharaan itu adalah singa gunung dan ular.
Dan ketika bulan tidak membawa cukup makanan untuk mereka, mereka menyerang dan membuatnya berdarah. Gerhana akan berakhir ketika istri-istri bulan datang untuk melindunginya, mengambil darahnya dan memulihkan kesehatannya.
Bagi suku Luiseño di California selatan, gerhana menandakan bahwa bulan sedang sakit. Tugas anggota suku adalah menyanyikan nyanyian atau doa untuk memulihkan kesehatannya.
Mitos modern terkait gerhana bulan
Tidak semua budaya memandang gerhana sebagai hal yang buruk, kata Jarita Holbrook, seorang astronom budaya di University of Western Cape di Bellville.
“Mitos favorit saya berasal dari masyarakat Batammaliba di Togo dan Benin,” ungkap Holbrook.
Dalam mitos ini, matahari dan bulan bertarung selama gerhana, dan masyarakat mendorong mereka untuk berhenti.
“Mereka melihatnya sebagai waktu untuk bersatu dan menyelesaikan perseteruan dan kemarahan lama,” kata Holbrook. Mitos ini masih bertahan hingga kini.
Di zaman modern, mitos-mitos kuno tersebut pun digunakan untuk menarik minat masyarakat. Misalnya di Observatorium Griffith.
Misalnya, Krupp mengenakan jubah dan topi penyihir untuk “menghalau gerhana”. Ia memimpin pawai di sekitar halaman. Dengan alat pembuat suara, Krupp berencana untuk “menakut-nakuti apa pun yang menelan bulan”.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR