Nationalgeographic.co.id—Fenomena Bulan Darah selalu memikat perhatian langit malam, menghadirkan pemandangan spektakuler saat Bulan berubah warna menjadi merah darah. Bulan Darah terjadi saat gerhana bulan total, yaitu ketika Bumi berada di antara Matahari dan Bulan.
Menurut NASA, fenomena ini dapat terjadi dua hingga empat kali setahun dan dapat disaksikan oleh hampir setengah populasi Bumi. Warna merah atau kecoklatan pada Bulan muncul akibat pembiasan cahaya Matahari melalui atmosfer Bumi.
Artikel ini akan mengulas sains di balik Bulan Darah dan berbagai jenis fenomena bulan lainnya.
Bagaimana Bulan Darah Mendapatkan Warnanya?
Saat gerhana bulan total, Bulan melewati bayangan Bumi, menghalangi cahaya Matahari secara langsung. Namun, sebagian cahaya Matahari masih menembus atmosfer Bumi dan dibiaskan, menerangi Bulan dengan cahaya kemerahan.
Caleb Scharf, direktur astrobiologi di Columbia University, menjelaskan proses ini:
"Komponen merah dari cahaya Matahari yang melewati atmosfer Bumi tersaring dan dibiaskan ke dalam bayangan Bumi, sehingga menerangi Bulan yang sedang mengalami gerhana dan memberinya warna merah atau seperti ‘darah’."
Menurut NASA, warna Bulan saat gerhana bergantung pada kondisi atmosfer. Debu, polusi, dan awan dapat membuat rona merahnya tampak lebih gelap.
Bahkan, letusan gunung berapi bisa membuat Bulan tampak lebih gelap karena meningkatnya partikel di atmosfer yang menyerap lebih banyak cahaya.
Peran Atmosfer Bumi dalam Gerhana Bulan
Bulan tidak memancarkan cahaya sendiri. Cahaya yang biasanya kita lihat adalah pantulan sinar Matahari dari permukaannya.
Baca Juga: Gerhana Bulan Total 13-14 Maret 2025: Penjelasan dan Wilayah Indonesia yang Bisa Melihatnya
Temuan Ilmiah Berhasil Ungkap Kapan Usia Kritis saat Fungsi Sel-sel Otak Mulai Menurun
Source | : | Colitco |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR