Nationalgeographic.co.id—Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL) bekerja sama dengan Sraddha Institute Surakarta menggelar forum diskusi “Gastronomi Nusantara Sebagai Identitas Budaya” pada 20 Maret 2025.
Salah satu yang dibahas dalam forum tersebut yaitu mengenai gastronomi boga sadhana, yakni konsep pangan masyarakat pegunungan Jawa abad 16-17.
Founder Sraddha Institute Surakarta, Rendra Agusta, memaparkan isi Manuskrip Merapi-Merbabu. Naskah kuno itu ditulis pada masa transisi dari Jawa Kuno ke Jawa Baru, dari masa Majapahit Akhir era Girindra Wardhana dan berakhir pada masa akhir keraton Mataram Islam, yang beribu kota di Kartasura era Sunan Pakubuwono II (Kraton Surakarta dan Yogyakarta awal).
Naskah-naskah tersebut lebih banyak ditemukan di lingkungan pegunungan, jauh dari tradisi istana atau pesantren, dan mencerminkan budaya agraris masyarakat setempat.
Rendra menjelaskan, dalam manuskrip itu terdapat berbagai catatan tentang praktik pangan, pertanian, dan kehidupan spiritual masyarakat pegunungan. Salah satu konsep penting yang muncul adalah boga sadhana, tradisi penyediaan makanan sebagai bentuk kedermawanan, terutama dalam komunitas pertapaan.
“Istilah ini ditemukan dalam teks Hidung Surajaya. Yang menggambarkan seorang pertapa menyajikan hidangan bagi para tamu, termasuk makanan berbasis ayam bakar, mirip ayam betutu, serta sayuran dan umbi-umbian,” tutur Rendra seperti dikutip dari laman BRIN.
Naskah ini juga memberikan wawasan tentang sistem pertanian masyarakat pegunungan pada abad XVI-XVII. Mereka menanam padi gaga (padi gunung), berbagai jenis pisang, rempah-rempah, serta sayuran seperti bayam, kacang panjang, dan kacang koro.
Selain itu, mereka memiliki pemahaman tentang cuaca dan iklim. Lalu menggunakan teknik bercocok tanam berbasis multikultural, yang berbeda dengan pertanian monokultur modern.
Menariknya, manuskrip ini juga mencatat teknik tradisional dalam pengelolaan hama, seperti penggunaan ramuan tumbuhan serta mantra untuk mengusir hama. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pegunungan tidak hanya mengandalkan metode fisik, tetapi juga aspek spiritual dalam menjaga hasil pertanian mereka.
“Secara keseluruhan, naskah Merapi-Merbabu memberikan gambaran tentang ekosistem kebudayaan yang kompleks di pegunungan Jawa, pada masa peralihan dari Hindu-Buddha ke Islam,” jelasnya.
Tradisi boga sadhana dan praktik agraris ini menunjukkan ketahanan pangan yang kuat. Ini bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat modern dalam menjaga keberlanjutan sistem pertanian dan kehidupan sosial.
Baca Juga: Mengungkap Makna Kuliner Ambeng Jaton, Warisan Tradisi Gastronomi di Minahasa
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR