Nationalgeographic.co.id—Ambeng Jaton merupakan salah satu warisan kuliner khas komunitas Jawa Tondano (Jaton) di Minahasa, Sulawesi Utara. Informasi mengenai salah satu warisan budaya gastronomi ini diangkat melalui riset yang dilakukan oleh Salmin Djakaria, peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Riset berjudul “Ambeng: Merawat Tradisi, Menguatkan Entitas di Jawa-Tondano” tersebut dipaparkan dalam kegiatan forum diskusi yang diselenggarakan PR MLTL BRIN bekerja sama dengan Sraddha Institute Surakarta pada 20 Maret 2025.
Salmin membuka wacana dengan menjelaskan bahwa dinamika kolonisasi di Nusantara berimplikasi pada situasi sosial dan kultural masyarakat. Dinamika tersebut tampak dari munculnya kelompok masyarakat yang saling memengaruhi melalui proses akluturasi budaya.
Salah satunya, bisa dilihat dari awal mula tradisi budaya gastronomi ambeng Jaton yang lahir dari perpaduan budaya Jawa dan Minahasa.
Budaya ini berakar dari pengasingan Kyai Mojo dan pengikutnya oleh kolonial Belanda pada abad ke-19. Meski jauh dari tanah asalnya, komunitas Jaton, disebutnya, berhasil mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa sambil beradaptasi dengan tradisi setempat.
Lebih lanjut Salmin menjelaskan, salah satu bentuk akulturasi yang menonjol terlihat dalam sajian ambeng. Di mana, ambeng khas Jaton ini memiliki perbedaan signifikan dibandingkan ambeng khas Jawa.
“Ambeng Jaton cenderung bercita rasa lebih kuat dan pedas. Sebab kuliner ini menggunakan rempah khas Minahasa seperti cakalang, pala, dan cengkih,” papar Salmin seperti dikutip dari laman BRIN.
Selain itu, penyajiannya juga berbeda. Jka ambeng Jawa menempatkan nasi di tengah, ambeng Jaton menggunakan nasi sebagai alas dengan lauk mengelilinginya.
Hidangan itu, menurutnya, tidak sekadar makanan, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam dalam berbagai ritual dan perayaan. Seperti perkawinan, kelahiran, kematian, serta perayaan keagamaan.
Setiap variasi ambeng memiliki filosofi tersendiri. “Misalnya dalam Ambeng Maulid, ayam disajikan terbuka sebagai simbol syukur. Sementara dalam ambeng kematian, ayam dihidangkan dalam posisi tertutup sebagai tanda penghormatan,” urainya.
Baca Juga: Tradisi untuk Lingkungan: Melestarikan Lingkungan melalui Peran Kearifan Lokal
Melalui risetnya itu, Salmin berharap ada upaya pelestarian tradisi kuliner Nusantara. Salah satunya, melalui penyelenggaraan festival budaya tahunan serta praktik kuliner dalam ritual sosial-keagamaan.
Salmin meyakini sajian ambeng bukan sekadar makanan, melainkan juga simbol identitas, persatuan, dan keberlanjutan budaya Jawa Tondano di tengah perkembangan zaman.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR