Nationalgeographic.co.id—Tradisi Helai Mbai Hote Mbai dikenal sebagai warisan budaya gastronomi masyarakat Sentani, Papua. Helai Mbai Hote Mbai merupakan tradisi makan papeda secara bersama-sama dalam satu wadah.
Peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siswanto, dalam risetnya mengungkapkan bahwa tradisi tersebut bukan sekadar ritual makan bersama.
Lebih jauh, tradisi tersebut juga mencerminkan nilai-nilai sosial, budaya, dan adat yang melekat dalam kehidupan masyarakat sekitar Danau Sentani.
Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi ini menghadapi berbagai tantangan yang berpotensi mengancam eksistensinya.
Siswanto memaparkan, tradisi Helai Mbai Hote Mbai mencerminkan kebersamaan dan solidaritas dalam masyarakat Sentani. Tradisi ini mengandung filosofi kekeluargaan dan kebersamaan.
Tradisi ini mempererat hubungan dalam keluarga dan komunitas. Selain itu, tradisi ini juga menjadi ruang diskusi saat makan bersama dilakukan.
“Di situ, mereka membahas berbagai permasalahan keluarga maupun permasalahan yang ada di kampung mereka,” tutur Siswanto, seperti dikutip dari laman BRIN.
Siswanto menambahkan, tradisi ini juga sebagai sarana diplomasi adat. Pemimpin adat yang disebut dengan Ondoafi, memanfaatkan tradisi ini sebagai media diplomasi sebelum menyampaikan keputusan penting.
Di balik makna Helai Mbai Hote Mbai, Siswanto mengungkapkan, beberapa upaya telah dilakukan untuk mempertahankan tradisi ini.
Misalnya, dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2000 yang mengatur tentang perlindungan hutan sagu.
Baca Juga: Mengungkap Makna Kuliner Ambeng Jaton, Warisan Tradisi Gastronomi di Minahasa
Selain itu festival Helai Mbai Hote Mbai juga telah digelar setiap tahun pada 28-30 September di Kampung Abar, Kabupaten Jayapura. Festival ini mencakup pembuatan gerabah, pengolahan sagu, dan acara makan papeda bersama.
“Tradisi ini merupakan bagian penting dari identitas budaya masyarakat Sentani. Namun, modernisasi dan globalisasi mengancam keberlanjutannya,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Siswanto berharap, perlu adanya langkah konkret dalam bentuk edukasi, penyuluhan, dan dukungan komunitas. Tujuannya agar warisan budaya ini tetap hidup dan berkembang di tengah perubahan zaman.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR