Nationalgeographic.co.id—Jepang merupakan salah satu negara paling rawan gempa di dunia. Namun, alih-alih menjadi korban tanpa persiapan, Jepang justru dikenal sebagai negara yang paling siap dalam menghadapi bencana alam ini.
Sejak gempa dahsyat yang melanda Tokyo pada 1923 hingga tragedi Tōhoku pada 2011, Jepang terus memperkuat sistemnya—mulai dari pengembangan teknologi bangunan tahan gempa, sistem peringatan dini, hingga membangun budaya kesiapsiagaan yang tertanam kuat di masyarakat.
Lalu, bagaimana jepang mampu bertahan dan terus beradaptasi selama puluhan tahun di bawah bayang-bayang gempa bumi?
Menurut Keith Porter, kepala insinyur di Institute for Catastrophic Loss Reduction di Kanada, cara terbaik untuk mempersiapkan diri menghadapi gempa besar sering kali lahir dari pengalaman pahit—pelajaran yang diperoleh dari bencana di masa lalu.
Di Jepang, regulasi gempa pertama kali diperkenalkan setelah gempa berkekuatan 7,9 pada 1923 yang menewaskan lebih dari 140.000 orang dan meratakan ratusan ribu bangunan. Peraturan awal ini fokus pada penguatan bangunan baru di wilayah perkotaan, terutama pada konstruksi kayu dan beton.
Sejak saat itu, kode bangunan tahan gempa Jepang telah mengalami banyak perubahan besar, terutama melalui Building Standard Law tahun 1950 dan New Earthquake Resistant Building Standards pada 1981. Undang-undang ini tak hanya menetapkan standar teknis konstruksi, tetapi juga menetapkan ekspektasi kinerja bangunan saat gempa.
Pada 1950 pemerintah mewajibkan bangunan mampu menahan gempa hingga magnitudo 7 tanpa kerusakan serius. Pada 1981, regulasi diperbarui agar lebih spesifik—bangunan harus hanya mengalami kerusakan ringan dan tetap bisa digunakan saat terjadi gempa hingga magnitudo 7.
Untuk gempa yang lebih besar, hukum Jepang menyatakan bahwa bangunan tidak boleh runtuh, meskipun mengalami kerusakan berat.
Dengan kata lain, menurut Porter, jika sebuah bangunan masih berdiri dan tidak menimbulkan korban jiwa saat gempa besar seperti yang terjadi di awal tahun 2024, maka bangunan itu dianggap berhasil, walaupun mungkin sudah tak layak digunakan lagi karena kerusakannya sangat parah.
Standar serupa juga diterapkan di Amerika Utara, lanjut Porter, di mana prioritas utama adalah menyelamatkan nyawa, bukan menjaga keutuhan bangunan dalam jangka panjang.
Meski strategi ini jelas menyelamatkan banyak orang, penerimaan terhadap tingkat kerusakan tertentu justru dapat menyebabkan biaya perbaikan yang tinggi dan masalah pemeliharaan di masa depan.
Baca Juga: Mengapa Gempa Myanmar Begitu Merusak? Ilmuwan Ungkap Alasannya
Merancang Bangunan Tahan Guncangan
Ada berbagai teknik yang digunakan di Jepang untuk mencapai standar bangunan tahan gempa. Pilihannya bergantung pada jenis bangunan—apakah gedung pencakar langit atau rumah tinggal satu lantai—serta anggaran dan kondisi lingkungan.
Secara umum, bangunan diperkuat dengan balok, pilar, dan dinding yang lebih tebal untuk menahan guncangan. Namun, Jepang juga menerapkan teknik yang membuat bangunan seolah “terpisah” dari gerakan tanah.
Salah satu metode populer adalah memasang bantalan dari bahan penyerap getaran, seperti karet, di dasar fondasi bangunan. Cara lainnya adalah sistem base isolation, yaitu membangun seluruh struktur di atas lapisan bantalan tebal agar seluruh bangunan dapat “mengambang” dan tidak langsung terpapar pergerakan tanah.
Keith Porter mencatat bahwa banyak bangunan lama di Jepang dibangun dengan rangka kayu tradisional, yang cenderung rapuh terhadap guncangan. Setelah gempa dahsyat tahun 1995, Jepang mulai fokus memperkuat bangunan-bangunan lama agar lebih tahan gempa melalui proses retrofit.
Tentu saja, tidak ada sistem yang sepenuhnya kebal. Tantangan bisa muncul tergantung lokasi bangunan—misalnya jika berada di zona likuifaksi, di mana tanah kehilangan daya dukung saat gempa terjadi. Selain itu, gempa besar sering kali memicu dampak lanjutan seperti kebakaran atau tsunami.
Karena itu, keselamatan bangunan hanyalah satu bagian dari strategi ketahanan gempa Jepang.
Kesiapsiagaan yang Menyeluruh
Setelah gempa yang terjadi pada Hari Tahun Baru 2024, Profesor Toshitaka Katada dari Tokyo University mengatakan bahwa “mungkin tidak ada bangsa di dunia yang sewaspada Jepang dalam menghadapi bencana.” Di Jepang, rencana evakuasi dan latihan tanggap darurat sudah menjadi rutinitas.
Pusat evakuasi, biasanya sekolah atau fasilitas komunitas, dilengkapi dengan pasokan darurat, dan warga juga dianjurkan menyimpan perlengkapan darurat di rumah masing-masing.
Negara ini juga memiliki sistem peringatan dini yang canggih, yang terbukti aktif saat gempa dan ancaman tsunami terbaru terjadi.
Menurut ilmuwan sosial James D. Goltz dari Disaster Prevention Research Institute di Kyoto University, pengalaman masa lalu seperti Gempa Besar Jepang Timur tahun 2011 (yang memicu tsunami mematikan) mendorong perhatian besar pada edukasi publik. Selain perbaikan infrastruktur (hard mitigation), Jepang juga menekankan soft mitigation, seperti peningkatan sistem peringatan dan penunjukan zona aman tsunami.
Kini, Koichi Kusunoki dari Earthquake Research Institute Tokyo University bersama timnya tengah melakukan survei lapangan di Semenanjung Noto untuk mempelajari dampak gempa terbaru. Seperti yang telah dibuktikan oleh bencana-bencana sebelumnya, penelitian ini menjadi langkah awal untuk membuat masyarakat lebih aman ketika bumi kembali berguncang.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR