Merancang Bangunan Tahan Guncangan
Ada berbagai teknik yang digunakan di Jepang untuk mencapai standar bangunan tahan gempa. Pilihannya bergantung pada jenis bangunan—apakah gedung pencakar langit atau rumah tinggal satu lantai—serta anggaran dan kondisi lingkungan.
Secara umum, bangunan diperkuat dengan balok, pilar, dan dinding yang lebih tebal untuk menahan guncangan. Namun, Jepang juga menerapkan teknik yang membuat bangunan seolah “terpisah” dari gerakan tanah.
Salah satu metode populer adalah memasang bantalan dari bahan penyerap getaran, seperti karet, di dasar fondasi bangunan. Cara lainnya adalah sistem base isolation, yaitu membangun seluruh struktur di atas lapisan bantalan tebal agar seluruh bangunan dapat “mengambang” dan tidak langsung terpapar pergerakan tanah.
Keith Porter mencatat bahwa banyak bangunan lama di Jepang dibangun dengan rangka kayu tradisional, yang cenderung rapuh terhadap guncangan. Setelah gempa dahsyat tahun 1995, Jepang mulai fokus memperkuat bangunan-bangunan lama agar lebih tahan gempa melalui proses retrofit.
Tentu saja, tidak ada sistem yang sepenuhnya kebal. Tantangan bisa muncul tergantung lokasi bangunan—misalnya jika berada di zona likuifaksi, di mana tanah kehilangan daya dukung saat gempa terjadi. Selain itu, gempa besar sering kali memicu dampak lanjutan seperti kebakaran atau tsunami.
Karena itu, keselamatan bangunan hanyalah satu bagian dari strategi ketahanan gempa Jepang.
Kesiapsiagaan yang Menyeluruh
Setelah gempa yang terjadi pada Hari Tahun Baru 2024, Profesor Toshitaka Katada dari Tokyo University mengatakan bahwa “mungkin tidak ada bangsa di dunia yang sewaspada Jepang dalam menghadapi bencana.” Di Jepang, rencana evakuasi dan latihan tanggap darurat sudah menjadi rutinitas.
Pusat evakuasi, biasanya sekolah atau fasilitas komunitas, dilengkapi dengan pasokan darurat, dan warga juga dianjurkan menyimpan perlengkapan darurat di rumah masing-masing.
Negara ini juga memiliki sistem peringatan dini yang canggih, yang terbukti aktif saat gempa dan ancaman tsunami terbaru terjadi.
Menurut ilmuwan sosial James D. Goltz dari Disaster Prevention Research Institute di Kyoto University, pengalaman masa lalu seperti Gempa Besar Jepang Timur tahun 2011 (yang memicu tsunami mematikan) mendorong perhatian besar pada edukasi publik. Selain perbaikan infrastruktur (hard mitigation), Jepang juga menekankan soft mitigation, seperti peningkatan sistem peringatan dan penunjukan zona aman tsunami.
Kini, Koichi Kusunoki dari Earthquake Research Institute Tokyo University bersama timnya tengah melakukan survei lapangan di Semenanjung Noto untuk mempelajari dampak gempa terbaru. Seperti yang telah dibuktikan oleh bencana-bencana sebelumnya, penelitian ini menjadi langkah awal untuk membuat masyarakat lebih aman ketika bumi kembali berguncang.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR