Nationalgeographic.co.id—Ketika berbicara mengenai Gunung Everest (8.850 mdpl) yang terkenal mematikan dengan zona kematiannya, tak lengkap rasanya jika tidak membicarakan tentang Sherpa.
Sherpa adalah manusia yang luar biasa, manusia super. Bagaimana tidak, anggota kelompok etnis Nepal ini terkenal dengan rekor pendakian cepat, pendakian pada rute yang belum pernah didaki orang sebelumnya, pemandu ahli, dan keterampilan lainnya di puncak-puncak tinggi Himalaya.
Lantas, apa yang membuat para Sherpa ini begitu pandai mendaki pegunungan tertinggi di dunia tersebut? Simak pembahasan sains berikut ini!
Sebuah studi baru mengatakan bahwa para Sherpa mungkin lebih baik dalam memanfaatkan oksigen dibandingan dengan kebanyakan orang.
Andrew Murray, seorang ahli fisiologi di Universitas Cambridge di Inggris dan salah satu penulis studi tersebut mengatakan suku Sherpa memiliki performa yang sangat baik di dataran tinggi, jauh lebih baik daripada kebanyakan orang. "Tentu saja ada sesuatu yang sangat luar biasa tentang kemampuan mereka," katanya, dikutip dari NPR.
Studi ini menambah bukti bahwa gen mereka berperan. Suku Sherpa dan kelompok etnis lainnya telah tinggal di dataran tinggi Himalaya pada ketinggian rata-rata lebih dari 14.700 kaki setidaknya selama 6.000 tahun. Namun, kehidupan di dataran tinggi seperti itu tetap tidak ramah bagi sebagian besar orang.
Orang-orang dari dataran rendah yang pindah ke dataran tinggi menghadapi berbagai risiko. Dengan akses oksigen yang terbatas di atas ketinggian 8.000 kaki, gejalanya sering kali meliputi sakit kepala, nafsu makan rendah, dan kesulitan tidur.
Kasus penyakit gunung yang parah bahkan dapat menyebabkan pembengkakan di otak (Edema Serebral Ketinggian) atau pembengkakan cairan di paru-paru (Edema Paru Ketinggian). Kedua kondisi tersebut sangat mematikan.
Lalu, bagaimana para Sherpa melakukannya? Murray mengatakan, selama ribuan tahun, tubuh para penghuni dataran tinggi telah mengembangkan cara untuk memanfaatkan oksigen secara maksimal.
Ketika kebanyakan dari kita mendaki gunung, hormon dalam tubuh kita yang disebut eritropoietin (EPO) memicu produksi sel darah merah lebih banyak, yang kemudian dapat membawa lebih banyak oksigen ke otot-otot kita.
Namun, sel-sel tambahan itu juga mengentalkan darah kita, yang memberi tekanan ekstra pada jantung untuk memompanya dan dapat menyebabkan gejala penyakit ketinggian.
Baca Juga: Apakah George Mallory Orang yang Pertama Mencapai Puncak Everest?
Suku Sherpa juga meningkatkan jumlah sel darah merah mereka di dataran tinggi, tetapi tidak sebanyak orang-orang dari dataran rendah.
Untuk lebih memahami bagaimana para Sherpa mampu beraktivitas dengan sangat baik, bahkan tanpa bantuan dari lonjakan jumlah sel darah merah tambahan yang membawa oksigen, Murray dan rekan-rekannya mempelajari sekelompok orang yang terdiri dari 15 Sherpa dan 10 penduduk dataran rendah dalam ekspedisi ke Everest Base Camp pada tahun 2013.
Para peserta tidak diizinkan mendaki ke ketinggian ekstrem dalam beberapa minggu menjelang penelitian, yang dimulai dengan penerbangan dari London atau Kathmandu ke Lukla, Nepal, pada ketinggian hampir 9.200 kaki.
Semua peserta ditawari makanan yang sama saat mereka mendaki selama 10 hari ke Everest Base Camp pada ketinggian hampir 17.400 kaki.
Sebelum, selama, dan setelah perjalanan, para peneliti mengambil sampel darah serta potongan otot seukuran kacang polong dari setiap orang.
Laporan tim menemukan bahwa perbedaan menarik terlihat pada sel otot kedua kelompok. Pada otot Sherpa, penelitian menemukan, mitokondria sel (bagian penghasil energi) mengubah lebih banyak oksigen menjadi energi.
"Mitokondria Sherpa tidak mudah bocor dan karenanya lebih efisien daripada mitokondria orang Barat," kata Murray. "Mereka lebih baik dalam menggunakan oksigen."
Murray menambahkan, otot-otot Sherpa mampu menempuh jarak lebih jauh dengan total oksigen yang lebih sedikit.
Suku Sherpa juga mampu menghasilkan lebih banyak energi tanpa oksigen sama sekali, suatu proses yang disebut metabolisme anaerobik.
Temuan tersebut membantu menghubungkan titik-titik dari penelitian sebelumnya yang telah mengungkapkan mutasi menarik dalam DNA Sherpa, kata Tatum Simonson, yang mempelajari genetika dan fisiologi adaptasi dataran tinggi di Universitas California, San Diego.
Untuk penelitian tahun 2010, Simonson dan rekan-rekannya memindai genom orang Tibet yang tinggal di dataran tinggi.
Baca Juga: Misi Menembus Es Everest: Mengungkap Rahasia Gletser yang Kian Mencair
Mereka menemukan beberapa gen dengan mutasi berbeda yang tampaknya terkait dengan metabolisme oksigen dan beradaptasi dengan lingkungan rendah oksigen.
Menurut Simonson, dengan menyelidiki lebih dalam peran potensial salah satu gen tersebut, tim Murray telah mengembangkan penelitiannya menjadi lebih baik.
Studi tersebut menunjukkan bahwa metabolisme penduduk dataran rendah dan Sherpa bekerja dengan cara yang sama di dataran rendah, yang menunjukkan bahwa perbedaan gen antara Sherpa dan penduduk dataran rendah muncul di dataran tinggi, imbuhnya.
Karena para Sherpa telah beradaptasi dengan ketinggian selama ratusan generasi, kata Simonson, mereka memberikan gambaran tentang potensi tubuh manusia dalam menghadapi kekurangan oksigen.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR