Argumen untuk mengisi kembali tundra dengan mamalia besar sangat menarik. Spesies ini memulihkan keseimbangan alam dan mengubah ekologi sistem dengan cara yang dapat dinilai baik atau buruk.
Misalnya berang-berang membangun bendungan dan membanjiri dataran tinggi, melindungi pertanian dan desa dataran rendah. Serigala membasmi rusa dataran tinggi dan membatasi kerusakan yang ditimbulkannya pada pohon muda. Namun, mereka juga mungkin memakan ternak.
Kita tentu saja ingin melihat dinosaurus, mamut, dan dodo yang masih hidup. Namun, dalam beberapa hal, kita harus merasa lega bahwa klaim optimistis tentang kloning dan teknologi genetika belum terbukti. Perlambatan ini memberi kita waktu untuk mempertimbangkan hasilnya. Dan mudah-mudahan menghindari beberapa imajinasi Michael Crichton yang lebih liar.
De-extinction adalah ide yang menarik — lagipula, siapa yang tidak akan senang melihat spesies dari Zaman Es yang berjalan tertatih-tatih di salju Siberia? Namun, meskipun tantangan teknisnya sangat besar, tantangan etisnya bahkan lebih besar lagi.
Pemulihan kepunahan menimbulkan pertanyaan mendasar tentang prioritas konservasi, mengapa spesies penting, dan risiko kemajuan ilmiah. Dan salah satu masalah yang paling sulit diatasi adalah bahaya bagi masing-masing hewan. Baik itu induk pengganti maupun klon yang baru lahir menghadapi risiko penderitaan dan trauma. Mereka hanya digunakan hanya sebagai instrumen dalam proyek penelitian yang manfaatnya tidak jelas.
Dan jika hewan-hewan yang punah "dihidupkan" kembali, mereka harus menghadapi alam yang jauh berbeda.
Suatu hari nanti, pengetahuan atau teknologi baru akan memungkinkan kita menghindari biaya etis dari upaya de-extinction. Namun hingga saat itu tiba, mamut berbulu seharusnya tetap menjadi kenangan.
Source | : | The Guardian |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR