Nationalgeographic.co.id—Kita mungkin akan merasa sedih ketika hewan tertentu punah. Misalnya burung dodo.
Namun haruskah kita "menghidupkan kembali" burung cantik ini dari kematian? De-extinction adalah ilmu tentang memulihkan spesies yang hilang dan telah menjadi berita, secara sporadis, selama beberapa dekade.
Kisah di zaman modern dimulai pada tahun 1990 ketika Michael Crichton menerbitkan novel fiksi ilmiahnya Jurassic Park. Dalam novel itu, penulis menggambarkan sebuah dunia tempat para ilmuwan mampu menghidupkan kembali dinosaurus.
Crichton merupakan seorang ilmuwan biomedis. Jadi ia menyadari teknologi reaksi berantai polimerase (PCR) baru yang merevolusi laboratorium ilmu hayati.
PCR memungkinkan ahli biologi molekuler membuat jutaan atau miliaran salinan DNA dengan sangat cepat. Oleh karena itu, hanya diperlukan sampel yang sangat kecil.
Crichton membayangkan bahwa PCR dapat menjadi cara untuk memperbanyak DNA dinosaurus dalam jumlah kecil. “Dengan demikian membangun embrio yang hidup,” tulis Mike Benton di laman The Guardian.
Dampak film Jurassic Park sangat besar. Namun, setiap orang yang waras pasti akan menyimpulkan bahwa membawa kembali dinosaurus ke dunia modern bukanlah ide yang baik.
Yang terkenal, sains meniru seni. Beberapa makalah yang menggembirakan diterbitkan pada tahun 1990-an yang membuatnya tampak seolah-olah karya Crichton bisa dibuktikan. Sayangnya, para ahli biologi segera menyadari bahwa DNA sebenarnya rusak sangat cepat; bahkan setelah 100 tahun.
DNA dari kulit dodo, quagga, auk besar, dan hewan lain yang baru saja punah di museum telah membusuk tanpa bisa diperbaiki. DNA dapat diurutkan menggunakan daya komputasi yang sangat besar, tetapi itu pun hanya dengan ketidakpastian yang cukup besar.
Dan bahkan jika Anda memiliki urutan DNA, masih ada masalah lain. Seperti tentang bagaimana Anda membuat sel hidup membaca urutan itu dan mengekspresikan protein yang membuat dinosaurus atau dodo.
Namun, domba Dolly menunjukkan kepada kita bahwa bayi mamalia dapat diciptakan di laboratorium hanya dengan induk domba dan sedikit DNA. Jadi, dapatkah kita menggunakan teknologi yang sama untuk spesies domba yang telah punah atau hewan sejenis lainnya?
Baca Juga: Singkap Upaya Ilmuwan 'Menghidupkan Kembali' Enam Spesies yang Sudah Punah
Celia, ibex pirenia terakhir yang masih hidup, mati pada tahun 2000. Menggunakan sampel jaringan yang diambil darinya setahun sebelum ia mati, Advanced Cell Technology menerapkan teknologi kloning yang digunakan untuk Dolly. Perusahaan tersebut berupaya menghidupkan kembali Celia.
Tentu saja mereka tidak memiliki anggota subspesiesnya sendiri untuk bertindak sebagai ibu pengganti. Jadi mereka menggunakan jenis ibex yang berbeda. Dari 285 embrio kloning, 54 ditanamkan, tetapi tidak ada yang bertahan hidup. Pada tahun 2003, satu klon lahir hidup tetapi mati setelah beberapa menit.
Sejak saat itu, konsep kloning dan ibu pengganti telah terhenti. Dan tidak ada yang membahas soal tentang pemindahan sel atau embrio kloning mamut yang telah mati ke gajah modern lagi. Sebaliknya, teknologi pilihan sekarang adalah rekayasa genetika.
Tahun lalu, Colossal Biosciences berupaya "menghidupkan kembali" mamut, kali ini menggunakan penyuntingan genom. Ilmuwan genetika sudah dapat memasukkan gen yang tahan dingin ke dalam tanaman agar tanaman tersebut dapat tumbuh dalam kondisi dingin. Dan Colossal berencana melakukan hal yang sama dengan gajah asia modern. Tujuan mereka adalah melihat mamut berbulu bergemuruh di tundra sekali lagi.
Namun mengapa ada orang yang ingin melihat mamut, atau sesuatu yang mirip, berkeliaran di Siberia saat ini? Ya, mamut tidak diragukan lagi adalah binatang yang menakjubkan dan memesona.
Selain memburu mamut, nenek moyang kita di masa lampau melukis kemiripan mereka di gua-gua di seluruh Eropa. Meskipun mungkin menarik, ada beberapa pembenaran ekologis untuk proyek tersebut juga.
Rencananya, mamut juga akan "dibangkitkan kembali". Keberadaannya akan membantu meningkatkan keanekaragaman hayati tundra Siberia dan Kanada ke tingkat yang belum pernah terlihat selama ribuan tahun.
Saat ini, sebagian besar tundra, jika tidak membeku di musim dingin, ditutupi oleh rerumputan pendek. Flora tersebut merupakan flora yang jauh berbeda daripada yang ada pada masa mamut lebih dari 10.000 tahun yang lalu.
Saat itu, mamut dan herbivora lain di Eurasia utara, memakan berbagai spesies tanaman berbunga yang secara kolektif disebut forb. Saat hewan-hewan besar ini menginjak-injak tundra sambil menyambar batang-batang tanaman, mereka meninggalkan celah-celah yang tidak teratur di tutupan tanaman. Hal itu memungkinkan berbagai spesies tumbuh subur. Kuku mereka menciptakan jejak yang dalam tempat tanaman dapat berkecambah. Urine serta kotorannya menyediakan asupan yang sangat bergizi untuk perkecambahan benih.
Keanekaragaman permukaan tanah inilah yang mendukung begitu banyak flora. Tanpa mamut, keanekaragaman itu menghilang. Kembalikan mereka dan lanskap akan kembali dipenuhi dengan berbagai spesies, termasuk bunga dan semak.
Memang, ini bukan de-extinction dalam arti menghidupkan kembali spesies yang telah lama punah. Sebaliknya, ini lebih seperti membuat “dodo” dengan merekayasa merpati modern, kerabat terdekatnya, menjadi besar dan tidak bisa terbang.
Hasilnya akan menjadi merpati besar dan gemuk. Terlepas dari apakah tampak seperti dodo atau tidak, mungkin akan memenuhi beberapa peran ekologisnya.
Argumen untuk mengisi kembali tundra dengan mamalia besar sangat menarik. Spesies ini memulihkan keseimbangan alam dan mengubah ekologi sistem dengan cara yang dapat dinilai baik atau buruk.
Misalnya berang-berang membangun bendungan dan membanjiri dataran tinggi, melindungi pertanian dan desa dataran rendah. Serigala membasmi rusa dataran tinggi dan membatasi kerusakan yang ditimbulkannya pada pohon muda. Namun, mereka juga mungkin memakan ternak.
Kita tentu saja ingin melihat dinosaurus, mamut, dan dodo yang masih hidup. Namun, dalam beberapa hal, kita harus merasa lega bahwa klaim optimistis tentang kloning dan teknologi genetika belum terbukti. Perlambatan ini memberi kita waktu untuk mempertimbangkan hasilnya. Dan mudah-mudahan menghindari beberapa imajinasi Michael Crichton yang lebih liar.
De-extinction adalah ide yang menarik — lagipula, siapa yang tidak akan senang melihat spesies dari Zaman Es yang berjalan tertatih-tatih di salju Siberia? Namun, meskipun tantangan teknisnya sangat besar, tantangan etisnya bahkan lebih besar lagi.
Pemulihan kepunahan menimbulkan pertanyaan mendasar tentang prioritas konservasi, mengapa spesies penting, dan risiko kemajuan ilmiah. Dan salah satu masalah yang paling sulit diatasi adalah bahaya bagi masing-masing hewan. Baik itu induk pengganti maupun klon yang baru lahir menghadapi risiko penderitaan dan trauma. Mereka hanya digunakan hanya sebagai instrumen dalam proyek penelitian yang manfaatnya tidak jelas.
Dan jika hewan-hewan yang punah "dihidupkan" kembali, mereka harus menghadapi alam yang jauh berbeda.
Suatu hari nanti, pengetahuan atau teknologi baru akan memungkinkan kita menghindari biaya etis dari upaya de-extinction. Namun hingga saat itu tiba, mamut berbulu seharusnya tetap menjadi kenangan.
Source | : | The Guardian |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR