Nationalgeographic.co.id— Kita mengenang bait lirik lagu Bersuka Ria, yang dilantunkan Titiek Puspa dengan manja, "Jalan-jalan ke Surabaya. Lebih cantik memakai pita. Janganlah sering memandang saya. Nanti bisa jatuh cinta..."
Bersukaria merupakan lagu gubahan Sukarno yang menjadi lagu urutan pertama dalam album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso. Lagu ini dibawakan oleh empat penyanyi beken pada masanya: Bing Slamet, Rita Zahara, Nien Lesmana, dan Titiek Puspa. Mereka membuka lagu Bersuka Ria dengan memadukan suara bersama, "Mari kita bergembira sukaria bersama. Hilangkan sedih dan duka mari nyanyi bersama. Lenyapkan duka lara bergembira semua. Lalalaa lalala lalaaaala mari bersuka ria."
Sampul depan album itu menampilkan garis-garis berwarna ceria berlatar cerah, sedangkan sampul belakangnya menampilkan daftar lagu dan kata pengantar. Orkes Irama pimpinan Jack Lesmana menjadi pengiring dalam lagu-lagunya. Kelak, Jack dikenal sebagai salah satu pelopor musik jazz di tanah air, yang juga ayah musisi Indra Lesmana.
Album itu sebagai persembahan para seniman Indonesia dan karyawan Irama bertalian dengan sepuluh tahun digelarnya Konferensi Asia-Afrika. "Saja restui, setudju diedarkan 14/4 '65," tulis Bung Karno sembari membubuhkan tanda tangannya.
Dia senantiasa menganjurkan kepada rakyatnya supaya berani berdiri di atas kaki sendiri, yang termasuk juga dalam bidang musik. Album ini memiliki peran penting dalam menyuarakan visi budaya Bung Karno.
Sebuah pandangan pemikiran yang menjadi bagian dari upaya melawan kian dominannya pengaruh budaya barat di Indonesia. Titiek Puspa tidak hanya menyumbangkan suaranya, tetapi juga menjadi wajah dari gerakan budaya ini, sekaligus membawa musik Indonesia ke panggung internasional.
Bung Karno telah menggagas Tari Lenso Gaya Baru yang kerap ia peragakan dalam kesempatan acara-acara kenegaraan. Musik pengiringnya adalah lagu-lagu dengan irama lenso, jenis musik yang terinspirasi dari tarian tradisional lenso asal Maluku. Tarian pergaulan ini menampilkan para penari menggunakan lenso—serapan bahasa Portugis yang bermakna sapu tangan—dalam suasana gembira dan penuh semangat.
Dia sangat menyukai tarian dan iramanya sehingga menjadikannya simbol budaya khas Indonesia. Dia menggali dan menggagasnya sebagai alat diplomasi budaya untuk memperkenalkan kekayaan seni Indonesia kepada dunia.
Tidak hanya mencipta lagu, Bung Karno juga menggagas pembentukan kelompok musik bernama The Lensoist, terinspirasi dari irama lenso. Personelnya musisi-musisi berbakat Indonesia seperti Jack Lesmana, Bubi Chen, Benny Mustafa, Idris Sardi, dan Darmono. Mereka memainkan musik dengan sentuhan modern namun tetap berakar pada budaya lokal.
Baca Juga: Sejarah Indonesia: Kenapa Sukarno Bekerja Sama dengan Jepang demi Kemerdekaan?
Beberapa minggu setelah peluncuran album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso, Bung Karno mengajak menyanyi Bersuka Ria bagi semua yang hadir dalam peringatan Hari Buruh 1 Mei 1965. Selain soal diplomasi budaya, dalam lagu Bersuka Ria, Bung Karno menyisipkan gagasannya tentang pangan mandiri, beragam, berlimpah, dan berkelanjutan. Pangan tampil sebagai jati diri bangsa sampai dendang pelipur lapar-lara.
Siapa bilang bapak dari Blitar
Bapak kita dari Prambanan
Siapa bilang rakyat kita lapar
Indonesia banyak makanan
Ary Budiyanto, penikmat cita rasa Nusantara yang juga antropolog di Universitas Brawijaya Malang, menulis dalam tajuk "Gagasan Besar Demi Daulat Pangan" di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2021. "Pada masa 1950-1960-an tercatat banyak musisi yang menyambut seruan Bung Karno untuk menaikan derajat dan mencintai makanan lokal," ungkapnya.
Lirik "Siapa bilang rakyat kita lapar, Indonesia banyak makanan" adalah pernyataan optimis dan respons terhadap narasi pesimistis atau propaganda asing yang merendahkan kemampuan Indonesia yang baru dua dekade merdeka. Bung Karno ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, terutama dalam bidang pangan. Lirik itu simbol dari cita-cita kedaulatan pangan yang Sukarno perjuangkan yakni negeri yang memiliki pangan beragam dan melimpah.
"Seruan yang ingin menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki banyak ragam makanan, dan karena itu tidak akan kelaparan," ungkap Ary. Bung Karno memahami bahwa memiliki pangan hanyalah langkah awal karena yang tak kalah penting dari bahan makanan adalah bagaimana hal itu bisa diolah menjadi hidangan yang enak dan sehat. "Impian makanan enak dan sehat untuk bangsanya ini dituangkan dalam buku Mustikarasa."
Tukang sayur nama si Salim
Menjualnya ke jalan lembang
Indonesia anti nekolim
Para seniman turut berjuang
Penggalan dalam lagu Bersuka ria ini mencerminkan sejumlah aspek dari pemikiran Sukarno, terutama terkait semangat perjuangan kolektif, anti-neokolonialisme (anti-nekolim), dan peran seni serta budaya dalam mendukung revolusi.
Lirik "Indonesia anti nekolim" merupakan pernyataan tegas dari perjuangan ideologi Bung Karno. Dia menolak segala bentuk penjajahan baru atau pengaruh asing yang merugikan kedaulatan bangsa Indonesia. Sedangkan lirik "Para seniman turut berjuang" menunjukkan keyakinan Sukarno bahwa seni dan budaya adalah alat revolusioner. Seniman memiliki tanggung jawab untuk membangkitkan semangat kebangsaan melalui karya mereka, sehingga seni menjadi bagian dari perjuangan melawan neokolonialisme.
"Bisakah seseorang menemukan inspirasi dalam apa pun jika dia bukan orang yang memiliki perasaan dan sedikit sisi seniman?" kata Bung Karno kepada Cindy Adam dalam Sukarno: An Autobiography.
Pada Juni 1965, ketika Inggris gegap gempita dengan The Beatles, Titik Puspa bersama The Lensoist mengemban misi budaya ke London. Mereka kerap mengikuti kunjungan resmi Bung Karno ke berbagai negara seperti Inggris, Amerika Serikat, Thailand, Jepang, Belanda, Rumanisa, Hungaria, Aljazair, dan Prancis. Kelompok musik ini menjadi simbol perlawanan budaya melalui seni, sekaligus alat diplomasi budaya untuk memperkenalkan jatidiri dan kekayaan seni Indonesia ke dunia internasional.
Biografi singkat sang legenda multitalenta
Titiek Puspa pertama kali mendapat undangan langsung dari Bung Karno untuk ke Istana Presiden pada 1960. Dia mengenakan kebaya dan jarik sesuai permintaan pengundang. Menurutnya, Bung Karno merupakan sosok yang kharismatik. Mereka bercakap-cakap akrab dengan bahasa Jawa, Bung Karno berbahasa Jawa ngoko sedangkan Titiek menggunakan bahasa Jawa krama.
Nama sejatinya Soedarwati, lahir pada Senin, 1 November 1937 di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan. Sebuah kota kecamatan terpencil yang berjarak sekitar 230-an kilometer dari Kota Banjarmasin. Orangtuanya bernama Tugeno Puspowidjojo dan Siti Mariam, yang berdarah Jawa.
Semenjak lahir dia memang sudah dipanggil "Titiek" yang berasal dari suku kata terakhir namanya. Karena sakit-sakitan, mereka mengganti namanya menjadi Kadarwati, lalu Sumarti. Dia telah mengawali kariernya ketika remaja, yakni dalam kontes menyanyi Bintang Radio di RRI Semarang pada 1954, yang sejatinya tidak direstui orangtuanya. Kemudian dia menggunakan nama samaran yang terdiri atas nama panggilan dan nama orangtuanya: "Titiek Puspo". Kelak, nama ini membawa ketenarannya sebagai Titiek Puspa.
Dia menciptakan lebih dari 400 lagu, baik yang dinyanyikan sendiri maupun untuk penyanyi lain, dari lagu perjuangan sampai lagu anak-anak. Masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai seorang multitalenta yang berkarya sepanjang masa—penyanyi legendaris, pencipta lagu, penulis cerita, aktris dan seniman teater, bintang iklan, budayawan, duta seni dan diplomasi budaya.
Dari keempat penyanyi lagu Bersuka Ria, Titiek Puspa berumur paling panjang. Dia wafat sebagai panutan lintas generasi dalam usia 87 tahun di Jakarta pada Kamis, 10 April 2025. Selamat melanjutkan pentas dalam keabadian, Titiek Puspa.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR