Nationalgeographic.co.id—Masyarakat dan Pemerintah Desa Teluk Pambang di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, berhasil menekan laju degradasi hutan mangrove secara signifikan, yaitu sebesar 96%. Laju degradasi di wilayah desa tersebut yang sebelumnya mencapai rata-rata 27 hektare per tahun (2016–2021), kini turun menjadi hanya 1 hektare per tahun (2022–2024).
Keberhasilan ini dicapai melalui program mangrove yang dilaksanakan oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dengan dukungan HSBC Indonesia. Program mangrove oleh YKAN menggunakan pendekatan Solusi berbasis Alam atau Nature-based Solutions (NbS) dengan mengutamakan keterlibatan masyarakat. NbS menekankan pentingnya perlindungan mangrove sebagai prioritas mitigasi perubahan iklim.
Senior Manager Ketahanan Kawasan Pesisir YKAN, Mariski Nirwan, menekankan pentingnya upaya pencegahan degradasi mangrove. “Mangrove hasil rehabilitasi memerlukan waktu empat puluhan tahun untuk mencapai nilai simpanan karbon seperti semula, atau bahkan sulit untuk terjadi. Oleh karena itu, melindungi mangrove yang ada merupakan salah satu langkah mitigasi paling strategis saat ini,” jelasnya, seperti dikutip dari keterangan tertulis YKAN.
Program mangrove YKAN menempatkan masyarakat sebagai aktor utama pelestarian mangrove. Di Desa Teluk Pambang, partisipasi aktif warga dalam pengelolaan mangrove meningkat dalam dua tahun terakhir, dari awalnya 5 orang menjadi 170 orang yang diorganisasi dalam suatu Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Secara berkala, mereka berpatroli untuk melindungi dan mengawasi hutan mangrove Desa Teluk Pambang dan area sekitarnya.
Tak hanya itu, kelompok mangrove ini juga dibekali dengan kemampuan teknis seperti restorasi, perlindungan, dan monitoring mangrove hingga penggunaan aplikasi peta Avenza dan pemantauan mangrove berbasis internet. Kelompok ini juga dibekali kemampuan non-teknis seperti tata kelola organisasi, administrasi, pelaporan program, hingga teknis penyusunan proposal.
Keberhasilan ini didukung dengan pengesahan Peraturan Desa Teluk Pambang untuk melindungi hutan mangrove seluas 950 hektare. Selain itu, YKAN memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh legalitas pengelolaan kawasan mangrove tersebut melalui skema perhutanan sosial, yang juga membuka peluang ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat.
Dua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) telah dibentuk, yaitu KUPS Lebah Madu dan KUPS Biota Mangrove. Pembentukan kelompok ini memungkinkan pemanfaatan sumber daya mangrove secara lestari oleh warga desa setempat.
Pentingnya Perlindungan Mangrove di Pulau Bengkalis
Pulau Bengkalis berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang merupakan salah satu jalur perdagangan internasional tersibuk di dunia. Wilayah pesisir pulau ini memiliki ekosistem mangrove yang beririsan dengan lahan gambut, sehingga potensi penyimpanan karbonnya mencapai 1.969 ton karbon per hektare, di atas rata-rata simpanan karbon mangrove pada umumnya.
Namun, luas mangrove di pulau ini telah berkurang lebih dari 1.207 hektare (setara dengan 1.724 lapangan sepak bola standar FIFA) pada periode 1990–2019. Penyusutan ini juga berkontribusi memperparah erosi pantai hingga tiga meter per tahun di area tanpa mangrove.
Baca Juga: Gambut dan Mangrove Jadi Kunci Pengurangan Emisi Karbon di Asia Tenggara
Ancaman utama hutan mangrove di Desa Teluk Pambang meliputi penebangan mangrove untuk produksi arang dan alih fungsi lahan menjadi tambak udang intensif dan kebun kelapa sawit. Alih fungsi lahan ini terjadi akibat kurangnya pemahaman masyarakat terkait peraturan yang ada, terutama di kawasan hutan mangrove Desa Teluk Pambang yang sebagian besar fungsi kawasannya adalah Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Pejabat Sementara Kepala Desa Teluk Pambang, Sariono, lebih menekankan pentingnya upaya perlindungan hutan mangrove yang masih lestari ketimbang upaya restorasi hutan mangrove yang sudah kadung rusak. "Menjaga hutan mangrove yang sudah ada dan masih baik sebetulnya lebih mendesak dilakukan dibanding menanam. Menanam butuh waktu yang lama agar hutan bisa kembali, sementara desa kami yang berseberangan langsung dengan Selat Malaka butuh perlindungan dari ombak besar," ujarnya.
"Kami, Pemerintah Desa Teluk Pambang, berterima kasih kepada YKAN karena dedikasi dan pendampingannya yang menginisiasi aksi untuk menjaga hutan mangrove bersama pemerintah desa dan lembaga pengelola hutan desa (LPHD)," imbuh Sariono.
Restorasi dan Pemulihan Ekosistem
Meski perlindungan mangrove disebut lebih penting, restorasi lahan mangrove juga tetap layak dan baik dilakukan. Saat ini Desa Teluk Pambang memiliki potensi restorasi mangrove seluas 320 hektare, yang sebagian merupakan area mangrove rusak yang diduga akibat dari penebangan mangrove untuk produksi arang serta pembukaan kebun kelapa sawit dan tambak udang intensif.
Program restorasi YKAN tidak hanya berfokus pada penanaman, tetapi juga menciptakan kondisi lingkungan ideal untuk regenerasi alami. Rencana restorasi mangrove yang disusun YKAN didasarkan pada riset ilmiah sebagai panduan, sehingga tim restorasi mangrove dapat menentukan strategi yang paling relevan untuk setiap kondisi area restorasi, di antaranya seperti perbaikan hidrologi, pembersihan gulma, dan pemasangan pagar kayu untuk mengurangi kekuatan gelombang dan memerangkap sedimen telah menunjukkan hasil positif.
Hingga 2025, regenerasi alami mangrove yang dikerjakan kelompok mangrove Desa Teluk Pambang dan YKAN telah terlihat di area monitoring seluas 120 hektare. Tutupan mangrove diperkirakan sudah dapat terdeteksi melalui citra satelit dalam 3–5 tahun mendatang.
YKAN juga menggunakan pagar kayu berjaring untuk melindungi bibit mangrove yang ditanam. Melalui teknik ini, tingkat hidup (survival rate) bibit yang ditanam di ujung pantai meningkat dari 0% menjadi 50-80%.
Menuju Replikasi dan Keberlanjutan
Capaian program mangrove YKAN di Teluk Pambang membuktikan bahwa pendekatan solusi iklim berbasis alam dapat mengurangi laju degradasi mangrove, meningkatkan kualitas ekosistem, serta memperkuat partisipasi dan mata pencaharian masyarakat. Model ini akan direplikasi di Desa Kembung Luar dan Kembung Baru yang juga di Kabupaten Bengkalis dan diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi daerah lain sebagai upaya pengelolaan mangrove berkelanjutan di Indonesia.
Ketua Kelompok Belukap di Desa Teluk Pambang, Samsul Bahri, menyatakan pendampingan YKAN di Desa Teluk Pambang lebih dari sekadar kegiatan restorasi. Program mangrove YKAN telah menginisiasi pembentukan kelompok mangrove, yang sebelumnya hanya satu kelompok aktif, kini telah menjadi sepuluh, untuk menjalankan peraturan desa tentang pengelolaan dan perlindungan mangrove.
“YKAN dan para mitra juga memberikan pelatihan organisasi serta membuka keran kesempatan untuk mengelola hutan secara legal melalui Kelompok Usaha Perhutanan Sosial," tutur Bahri. "Diibaratkan, kami adalah bayi yang baru lahir, YKAN dan para mitra membantu kami untuk berjalan dan menemukan jalan terbaik ke depannya."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR