Nationalgeographic.co.id—Baru-baru ini, Presiden terpilih Prabowo Subianto menyampaikan niatnya untuk membantu petani mengatasi masalah hama tikus yang meresahkan di Majalengka dengan menjanjikan 1.000 ekor burung hantu.
Langkah ini tentu saja didasari oleh pemahaman bahwa tikus dapat menyebabkan kerugian besar pada hasil panen.
"Di daerah sini saya dapat laporan hama tikus yang sangat pelik masalahnya. Dan yang paling bagus sekarang katanya adalah burung hantu," kata Prabowo saat bertemu dengan gubernur Jawa Barat dan petani di Majalengka, Jawa Barat, seperti dilansir YouTube Sekretariat Presiden, Senin (7/4/2025).
"Saya bantu untuk berapa burung hantu yang saudara perlu. Saya bantu. Benar, ya. Perlu tambahan berapa burung hantu? Seribu ekor. Seribu ekor kali 150.000. Seribu ekor. Berarti Rp150 juta. Baik, saya bantu. Hari ini juga," lanjut Prabowo.
Namun, upaya memberantas hama, meskipun bertujuan baik, memerlukan perencanaan dan pemahaman yang mendalam tentang ekosistem.
Artikel ini akan memaparkan sebuah contoh tragis dalam sejarah, yaitu "Four Pests Campaign" yang pernah dijalankan di Tiongkok. Alih-alih membawa kesejahteraan, kampanye ambisius untuk memberantas empat hama justru berujung pada bencana ekologis dan kematian puluhan juta warga.
Kisah ini menjadi pengingat penting bahwa setiap tindakan yang bertujuan mengubah keseimbangan alam harus dipertimbangkan dengan matang agar tidak menimbulkan dampak yang jauh lebih buruk.
Senjata Makan Tuan Pemberantasan Hama di Tiongkok
Pada musim gugur tahun 1949, ketika kekuasaan di Tiongkok beralih kepada kaum komunis, negara tersebut menghadapi krisis kesehatan masyarakat yang serius dengan berbagai penyakit menular yang melumpuhkan.
Tuberkulosis, wabah pes, kolera, polio, malaria, cacar, dan cacing tambang menjadi endemik di sebagian besar wilayah Tiongkok, sementara sekitar 10,5 juta orang menderita schistosomiasis, sebuah penyakit parasit hati yang ditularkan melalui air.
Lebih lanjut, epidemi kolera sering terjadi di tengah masyarakat, bahkan menyebabkan puluhan ribu kematian dalam beberapa tahun tertentu, dan tingkat kematian bayi sangat mengkhawatirkan, mencapai 300 per 1000 kelahiran hidup.
Baca Juga: Burung Hantu Tyto alba, Predator Alami Penangkal Hama Lahan Pertanian
Dalam situasi transisi politik dan sosial yang mendesak ini, pemerintah Komunis mengambil langkah awal yang signifikan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat dengan membentuk sistem kesehatan masyarakat nasional dan memberantas penyakit-penyakit yang telah lama berakar.
Sebagai bagian dari upaya ini, seperti dipaparkan Rebecca Kreston di laman Discover Magazine, pemerintah menginisiasi kampanye vaksinasi massal terhadap pes dan cacar, berhasil menjangkau hampir 300 juta orang. Selain itu, infrastruktur sanitasi untuk menyediakan air minum bersih dan sistem pembuangan limbah juga dibangun di seluruh negeri.
Mengadopsi model perawatan kesehatan dari Uni Soviet, pemerintah membentuk kelompok-kelompok personel medis dan kesehatan masyarakat yang bertugas sebagai pengelola kesehatan bagi penduduk, mengarahkan mereka untuk bekerja di daerah pedesaan dan memberikan pengobatan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas.
Meskipun upaya-upaya tersebut penting, pemerintah menyadari bahwa memberantas penyakit menular memerlukan tindakan lebih lanjut terhadap hama yang menjadi vektor penyakit, seperti nyamuk penyebab malaria, tikus penyebar pes, dan lalat yang dianggap mengganggu dan berkeliaran di mana-mana.
Selain itu, burung gereja juga dianggap sebagai hama karena memakan hasil panen gandum dan padi yang telah susah payah ditanam. Keempat hama ini – lalat, nyamuk, tikus, dan burung gereja – dituduh melakukan pengkhianatan terhadap kesehatan masyarakat dan menyebabkan gangguan yang meluas, sehingga tindakan berskala besar dan monumental dianggap perlu, dan Four Pests Campaign diluncurkan sebagai jawabannya.
Dengan demikian, dimulailah bagian dari gerakan Great Leap Forward yang berupa kampanye kesehatan patriotik yang secara khusus menargetkan hama penyebar penyakit, memberikan rakyat kebebasan untuk memenuhi kewajiban mereka kepada negara melalui pembantaian hewan dan serangga kecil yang dianggap merugikan.
Pada tahun 1958, rakyat Tiongkok dengan penuh semangat dan efisien mengambil tindakan dan memulai pembantaian satwa liar dalam skala yang luar biasa.
Pelaksanaan kampanye kesehatan masyarakat ini melibatkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang lanjut usia. Poster-poster bergambar menarik disebarkan kepada masyarakat, mendorong penggunaan pemukul lalat, senapan, dan gong untuk melawan musuh-musuh kecil rezim.
Poster-poster kesehatan masyarakat ini tidak hanya berfungsi sebagai media informasi dan pemberdayaan, tetapi juga menjadi catatan sejarah yang menggambarkan kelahiran sistem politik dan kesehatan masyarakat yang baru.
Poster-poster Tiongkok ini mencerminkan prinsip, budaya, dan sejarah Republik, termasuk gaya teknologi dan estetika yang berlaku saat itu. Mengadopsi secara signifikan dari sistem penyebaran propaganda Uni Soviet yang sangat canggih dan gaya artistik realisme sosialis, poster-poster ini memancarkan semangat, niat baik, dan optimisme.
Mereka adalah representasi visual dari salah satu gerakan kesehatan masyarakat paling ambisius dalam sejarah, tetapi juga menceritakan tentang intervensi besar terhadap ekosistem yang rapuh dan ketidaktahuan akan keterkaitan halus yang menyatukan alam.
Baca Juga: Lestari Forum 2025: Masyarakat Sudah Terapkan ESG, Namun Pemahaman Masih Rendah
Kampanye kesehatan masyarakat “Empat Hama” yang ambisius ini memang berhasil memberantas dan mengurangi ruang lingkup banyak penyakit menular. Namun, keberhasilan ini juga diikuti oleh kerugian yang sangat besar, di mana “1 miliar burung gereja, 1,5 miliar tikus, 100 juta kilogram lalat, dan 11 juta kilogram nyamuk” musnah sepenuhnya.
Kampanye ini berjalan terlalu baik, bahkan melampaui perkiraan.
Peran penting burung gereja dalam menjaga keseimbangan ekologi tidak disadari, yang kemudian mengakibatkan bencana lingkungan yang tak terkendali. Tanpa adanya burung gereja yang memangsa mereka, belalang datang berkerumun dan melahap ladang-ladang gandum. Dampak bencana ini semakin diperparah oleh teknik pertanian baru yang baru saja diterapkan melalui Great Leap Forward.
Kematian massal burung gereja dan hilangnya panen di seluruh negeri menyebabkan kelaparan yang meluas dan kematian yang diperkirakan mencapai 20 hingga 30 juta orang antara tahun 1958 dan 1962.
Sebuah artikel tahun 1984 tentang kelaparan massal menggambarkan situasi ini dengan singkat, menyatakan bahwa “Tiongkok menderita krisis demografi dengan proporsi yang sangat besar”.
Meskipun "Four Pests Campaign" sangat berhasil dalam mencapai tujuan utamanya, yaitu pemberantasan hama, salah satu kampanye kesehatan masyarakat paling sukses dalam sejarah – dalam hal menetapkan tujuan dan mencapainya dengan jelas – harus dibayar dengan harga yang sangat mahal bagi rakyat Tiongkok, baik secara ekologis maupun demografis.
Sebuah pelajaran pahit dipetik: keseimbangan predator dan mangsa yang tak terlihat tidak boleh diabaikan, karena alam akan menciptakan keseimbangan baru dengan konsekuensi yang mungkin merugikan.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News: https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
KOMENTAR