Nationalgeographic.co.id—Lestari Forum 2025 dengan tema "Building Resilience Through Inclusivity" telah diselenggarakan di Studio 2 Menara Kompas, Jakarta Pusat pada tanggal 27 Februari 2025. Forum ini menyoroti temuan survei terbaru dari Litbang Kompas mengenai penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) di kalangan masyarakat.
Survei tersebut mengungkapkan bahwa sebanyak 77,5% masyarakat Indonesia telah menerapkan prinsip ESG dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah memilih transportasi ramah lingkungan dan mengonsumsi produk-produk berkelanjutan. Namun, tingkat pemahaman masyarakat terhadap konsep ESG secara mendalam masih rendah, yaitu hanya sebesar 18%.
Dalam forum yang sama, Deputy General Manager Litbang Kompas, BE Satrio, menyampaikan data lain yang menarik. Sebanyak 72,1% responden percaya bahwa sertifikasi ESG merupakan indikator keseriusan perusahaan terhadap isu keberlanjutan. Selain itu, mayoritas masyarakat mendukung pemberian sanksi yang lebih berat bagi perusahaan yang terbukti melanggar standar ESG.
Lebih lanjut, media monitoring yang dilakukan oleh Litbang Kompas menunjukkan bahwa ESG memiliki peran yang signifikan dalam dua sektor utama di Indonesia:
* Perbankan: ESG berperan penting dalam mendorong pembiayaan hijau (green financing) dan implementasi kebijakan kredit yang berkelanjutan.
* Properti: Penerapan prinsip ESG berkontribusi pada peningkatan efisiensi energi dan penggunaan material yang lebih ramah lingkungan dalam pembangunan.
Inklusivitas: Kunci Utama Membangun Ketangguhan Organisasi
Founder Green Network Asia, Jalal, yang juga hadir sebagai pembicara, menekankan pentingnya inklusivitas dalam membangun ketangguhan organisasi.
Menurutnya, keberagaman tidak hanya sekadar formalitas, tetapi harus tercermin dalam keragaman kognitif yang didengarkan dan dihargai. Keputusan yang inovatif dan efektif hanya dapat dihasilkan oleh organisasi yang memberikan ruang bagi berbagai perspektif.
Jalal juga menyoroti adanya ketidakadilan epistemik di banyak organisasi, di mana pandangan dari kelompok tertentu seringkali diabaikan. Hal ini menghambat kemampuan organisasi untuk menghadapi tantangan dengan efektif. Untuk membangun ketangguhan yang sesungguhnya, organisasi perlu mengambil langkah-langkah konkret, seperti:
* Membangun tata kelola yang inklusif dengan mengakomodasi kepentingan seluruh pemangku kepentingan.
* Menjamin keberagaman di semua tingkatan organisasi, bukan hanya sebagai formalitas belaka.
* Menghapus ketidakadilan epistemik sehingga semua ide dan gagasan dapat dipertimbangkan secara setara.
* Memanfaatkan kecerdasan kolektif agar organisasi lebih siap dalam menghadapi berbagai risiko, baik di tingkat global maupun lokal.
Jalal menyimpulkan bahwa inklusivitas bukan hanya merupakan nilai moral, tetapi juga merupakan strategi yang esensial untuk membangun organisasi yang tangguh dan berkelanjutan di tengah ketidakpastian global.
Baca Juga: Gerakan Menanam Bambu demi Melestarikan Mata Air untuk Anak Cucu
KOMENTAR