Salah satu ajaran Sunan Muria, salah satu walisanga dan pepunden warga setempat, adalah pager mangkok—pagarilah rumahmu dengan mangkok. Ajakan untuk berbagi karena akan memberi kekuatan pada kekerabatan. Saya mencoba memaknai dalam konteks kewargaan ekologis bahwa ajaran ini bisa diterapkan juga untuk berbagi ruang kehidupan dengan makhluk lain—puspa dan satwa.
Sang Sunan juga mewariskan pesan melalui tembang kinanthi, yang kian jarang dilantunkan pada hari ini:
Mangka kanthining tumuwuh,
Salami mung awas eling,
Eling lukitaning alam,
Dadi wiryaning dumadi,
Supadi nir ing sangsaya,
Yeku pangreksaning urip.
Apabila kita terjemahkan, maknanya:
Padahal bekal orang hidup,
selamanya waspada dan ingat,
Ingat kepada petunjuk di alam ini,
Jadi kekuatan hidup,
supaya lepas dari kesengsaraan,
yaitu cara pemeliharaan hidup.
Sebuah pesan dari sang Sunan kepada kita untuk senantiasa belajar pada tanda-tanda alam dan cara memelihara kehidupan. Saya menyebutnya "Ekologi Mbah Muria".
Saya merasa trenyuh ketika warga mengisahkan kesaksian Ismail Honggowijono. Mbah Honggo, demikian warga menyapanya, pernah menolong seekor anak macan tutul jawa yang malang karena terjebak lubang di hutan. Kemudian ia membawa pulang dan merawatnya di rumah, sampai induk macan datang menjemput pada suatu malam. Malam berikutnya, sebagai ungkapan terima kasih, sang induk macan memberi paha kijang di teras rumahnya. Honggo hanya bergumam, mengapa kau beri aku bangkai? Malam berikutnya, si induk macan itu memberinya seekor kijang yang sekarat. Sebuah timbang rasa antara macan dan manusia.
Atas pengalaman Mbah Honggo itu warga meyakini bahwa ketika manusia tidak mengganggu macan, macan pun tidak mengganggu manusia. Sebuah pemikiran yang menjadi dasar kewargaan ekologis, yakni gagasan-gagasan tentang etika dan moral sebagai warga negara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Ketika seseorang menjadi bagian warga ekologis berarti ia memahami keterikatannya dengan semua aspek lingkungan—manusia, satwa, dan puspa. Kita menempatkan semua spesies sebagai warga negara, bersama-sama bertanggung jawab atas harmoni hidup di Bumi.
Ketika menuruni Bukit Dandugo, seorang warga senior bercerita kepada saya, "Macan tutul saat memangsa tidak selalu dihabiskan, tidak rakus," ujarnya. "Kami sebagai manusia itu rakus. [Namun] macan tutul makan sesuai jatahnya."
Setidaknya, ada dua pelajaran dari macan tutul yang bisa kita teladani: balas budi dan tidak rakus. Dua perkara yang kerap terabaikan dalam diri kita. Selamat membaca Pusparagam Muria, sebuah sudut pandang penyusuran jati diri budaya yang ditautkan pada upaya pelestarian.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR