Nationalgeographic.co.id—Dinukil dari sastra romansa John Lyly bertajuk Euphues: The Anatomy of Wit disebutkan bahwa "semua adil dalam cinta dan perang". Hari ini, kalimat tersebut jadi sindiran atas pembenaran tingkat kecurangan, termasuk halnya pada peperangan.
Sepanjang sejarah, perang tidak bisa terelakkan sebagai babak penting dari konflik. Idealnya, ketika diplomasi atau negosiasi konflik tidak menemukan jalan yang sesuai, perang jadi solusi terakhir. Perang juga seharusnya mempertemukan dua atau lebih kekuatan bersenjata yang berselisih tanpa harus mengorbankan masyarakat sipil.
Kepedulian terhadap masyarakat sipil dan sumber daya membuat banyak pemikir untuk mengembangkan etika perang yang adil. St Agustinus dan Thomas Aquinas adalah sebagian di antaranya yang menggagas jus ad bellum mengenai kapan perang boleh dilakukan dan jus in bello terkait tata pelaksanaan perang yang benar.
Tidak hanya etika perang yang digagas di Eropa, gagasan perencanaan dan pelaksanaan perang yang bijak juga telah berkembang di pelbagai peradaban lainnya, seperti Timur Tengah, Tiongkok, dan Mesir.
Perang tidak selalu sama. Waktu yang terus maju memperkenalkan kita pada produksi senjata yang lebih canggih. Dunia militer tidak lagi mengandalkan pedang, perisai, busur, tombak, perisai, dan kuda untuk berperang.
Produksinya pun melibatkan industri modern yang kapitalistik. Dengan kata lain, motif politik sangat memengaruhi ekonomi dalam produksi senjata, termasuk tujuan perang dan permintaan industrinya agar selalu berjalan. Akibatnya, alasan berperang dapat dengan sengaja dibuat otoritas, sehingga faktor etika perang dapat diabaikan.
Perbedaan laju perkembangan alutsista pun bisa berdampak pada ketidaksetaraan dalam peperangan. Satu kelompok bisa punya persenjataan canggih yang belum ditentukan standar etis pemakaiannya. Di satu sisi, kelompok lain punya sistem pertahanan yang lemah, memungkinkan masyarakat dan objek vital lainnya rentan jadi korban.
Etika Perang yang (Tidak) Adil
Etika perang atau perang yang adil universal hari ini mengandalkan prinsip jus ad bellum dan jus ad bello dengan interpretasi luas. PBB tidak punya prinsip yang pasti mengenai etika perang yang adil, sehingga ranahnya penuh dengan perdebatan.
Akibatnya, banyak konvensi PBB yang semestinya menjaga perdamaian, justru diabaikan karena prinsip-prinsip etika perang dapat dimaknai untuk membenarkan perang.
"Meskipun teori-teori abad pertengahan mungkin merupakan bagian dari teologi moral dan bukan hukum internasional, jelas bahwa era modern hanya peduli dengan pecahnya perang dalam formalitas deklarasi perang sebelum dimulainya permusuhan," tulis Joseph C. Sweeney, profesor hukum di Fordham University School of Law dalam Fordham International Law Journal 2003.
Baca Juga: Dunia Tanpa Perang: Apa yang Terjadi Jika Bumi Menjadi Damai Sepenuhnya?
Menurutnya, jika merunut pada piagam PBB, tindakan AS dan sekutu-sekutunya dalam Perang Irak 2003 bisa dipandang sebagai perang yang adil. Pasalnya, prinsip etika perang yang adil saat ini sangat ambigu dan membutuhkan "jawaban yang bebas dari keraguan".
"Kita melihat penurunan formalitas ini dalam Perang Dunia Kedua dan operasi Piagam PBB berikutnya untuk melindungi perdamaian dan keamanan internasional dari kekuatan ilegal oleh negara-negara yang tidak patuh sejak 1945."
Etika perang memiliki prinsip bahwa perang hanya bisa dilakukan untuk alasan yang keadilan dan oleh otoritas yang sah. Kedua, perang harus didasari niat yang benar atau murni secara moral, bukan karena egoisme dan keserakahan.
Perang juga harus berpegang pada prinsip proporsional, yakni mempertimbangkan kerugian yang ditimbulkan harus sebanding dengan manfaat yang dicari. Perang hanya diperbolehkan menggunakan kekuatan militer sebagai pilihan terakhir dan meminimalkan bahaya bagi warga sipil dan lingkungan sekitarnya.
Professor of Global Ethics Heather Widdows dari University of Birmingham mengkritisi prinsip ini. "Menetapkan 'tujuan yang adil' juga bermasalah, misalnya, pembelaan diri diakui secara luas, dan Piagam PBB memberikan hak kepada negara-negara untuk membela diri," terangnya di situs University of Birmingham.
Contohnya, Israel sering kali menggunakan 'pembelaan diri' dalam operasi penyerangannya baik ke Palestina, Lebanon, dan Suriah. Yang terbaru, Israel menggunakan dalih ini di awal ketegangannya dengan Iran.
"Dan ketika kita sampai pada proporsionalitas, perdebatan kontemporer sangat penuh dengan masalah. Bisakah proporsional menggunakan drone di mana tidak ada risiko terhadap nyawa di satu sisi dan risiko bagi banyak nyawa (termasuk nyawa sipil) di pihak lainnya?" lanjutnya.
Etika Perang Alternatif
Untuk mendorong prinsip etika perang yang adil, konteks hari ini harus diperhatikan. "Karakter perang berubah dengan cepat dan etika perlu mengimbangi perubahan itu. Prinsip-prinsip khusus ini mungkin perlu direvisi. Tetapi kita tidak boleh membayangkan masalah etika mendasar telah berubah," terang Widdows.
Advokat Mahkamah Agung Pakistan Waseem Ahmad Qureshi dalam tulisannya di Wisconsin International Law Journal pada 2021 menyarankan penambahan prinsip jus post bellum. Prinsip ini menekan bahwa etika perang harus mempertimbangkan dampak perang untuk melindungi hak dan kedaulatan negara yang kalah.
Pertimbangan ini berangkat dari perkembangan serangan siber yang dampaknya setara dengan senjata fisik, berdasarkan kesimpulan laporan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2013.
"Perang yang adil memperbolehkan penggunaan angkatan bersenjata untuk membela diri dan di bawah otorisasi DK PBB," tulisnya. "... untuk membatasi kekerasan dan menjaga perdamaian dan keamanan dunia ini, penggunaan kekuatan harus menjadi pilihan terakhir setelah semua solusi perdamaian telah dicoba.
"Ini berarti bahwa kerangka hukum internasional kontemporer dimaksudkan untuk mendorong perdamaian. Alasan ini juga didukung oleh fakta bahwa hukum humaniter berdasarkan jus in bello juga melindungi nyawa yang tidak bersalah selama konflik bersenjata," lanjut Qureshi.
Baca Juga: Perang Seperti di Israel-Palestina Picu Stres pada Hewan Liar dan Peliharaan
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Source | : | University of Birmingham |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR