Nationalgeographic.co.id—Enam tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad di Makkah, ada dorongan bagi umat muslim untuk menentukan kalendernya sendiri. Khalifah Umar bin Khattab jadi penggagasnya dengan menentukan 1 Muharram sebagai tanggal pertama dalam setahun disebut Hijriah.
Ketika Islam mulai berkembang di tanah Jawa, kalender Muharram digunakan tidak resmi. Penggunaannya hanya terbatas di kalangan musafir dari Timur Tengah, pemuka agama, dan muslim tertentu. Perlahan, ketika Islam mulai menjadi agama resmi, kalender lunar ini resmi digunakan.
Namun, bukan berarti peradaban Jawa tidak punya kalender sebelumnya. Hindu-Buddha telah lebih dahulu memperkenalkan kalender Saka bersistem luni-solar.
M.C Ricklefs dalam "Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung" dalam Archipel menulis bahwa peleburan kalender Hijriah dan sistem penanggalan yang sudah ada adalah gagasan Sultan Agung (berkuasa 1613 – 1645) dari Kesultanan Mataram.
Ketika ingin menyatukan Jawa di bawah panjinya, Sultan Agung menghadapi masalah mendasar, yakni hidup di bawah kalender yang berbeda. Kalender Hijriah umum digunakan masyarakat Jawa di pantai utara karena kerap berinteraksi dengan pedagangan Muslim. Sementara, masyarakat pedalaman masih menggunakan kalender Saka karena warisan Hindu-Buddha.
Perbedaan ini menyebabkan ketidakselarasan ritual keagamaan dan ketidaksesuaian musim tanam. Maka, Sultan Agung menggagas kalender Jawa yang menyatukan dua kelompok masyarakat Jawa pada 1633.
Alih-alih mengubah masa kekuasaannya sebagai tahun pertama, Sultan Agung justru melanjutkan tahun kalender Saka. Nama-nama bulan Hijriah disesuaikan dengan Jawa, seperti Muharam menjadi Sura (suro) yang merujuk pada kemuliaan hari kesepuluh "Asy-Syura". Ada pun Ramadan berganti menjadi Pasa (Puwasa, Siyam, atau Ramelan).
Metode perhitungannya menggabungkan periode peredaran bulan saptawara (pertujuh hari) dan pancawara (sepekan yang terdiri dari lima hari pasaran). Hasilnya, kalender Jawa tidak hanya nama dan jumlah hari kalender Hijriah dari Ahad hingga Sabtu, namun juga Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Kalender Jawa Islam yang Lebih Tua
Yumna Nur Mahmudah dan Ahmad Izuddin dari Program Studi Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang berpendapat, kalender Jawa yang memuat sistem penanggalan Islam dan yang sudah ada, sebenarnya, sudah berkembang sebelum Sultan Agung. Hal itu dikemukakan mereka dalam makalah mereka di Jurnal Ilmu Falak dan Astronomi pada 2023 bertajuk "Kalender Jawa Islam Menurut Ronggowasito dalam Serat Widya Pradhana".
Dalam Serat Widya Pradhana, Ranggawarsita (1802-1873 M) menulis Sabtu Pahing sebagai awal kalender. Ia merujuk perumusannya yang digagas Sunan Giri II (Sunan Dalem) pada 1443 Saka (1521 Masehi).
Baca Juga: Mengulik Gastronomi Boga Sadhana, Konsep Pangan Masyarakat Pegunungan Jawa Abad 16-17
Ada perbedaan antara sistem kalender yang diusung Sunan Giri II dan Sultan Agung. Yumna dan Ahmad mencatat, kalender Jawa Sunan Giri II diatur dari kurup (siklus setiap 120 tahun) dan nêptu (hitungan awal hari pasaran) untuk menentukan hari pertama Mukharam (Muharram).
Perhitungannya masih menggunakan bahasa Arab dalam kalender Hijriah, berbeda dengan Sultan Agung yang sudah menyeusaikan dengan bahasa Jawa.
Lebih lanjut, gagasan nêptu, oleh Ranggawarsita, hanya sebagai perhitungan awal tanda masuknya bulan. Sementara, Sultan Agung memberikan nilai pada suatu waktu, seperti hari atau watak yang baik.
Perbedaan lainnya terletak pada fungsi. Kalender Jawa dari Sunan Giri II, karena lebih menekankan unsur Islam, berfungsi untuk penentuan waktu beribadah. Sultan Agung tampaknya mengoreksi sistem kalender ini yang ditentukan nilainya.
Fungsi kalender Sultan Agung pun menyesuaikan tradisi agama dalam keraton Kesultanan Mataram. Meski penguasanya beragama Islam, kalender ini menyesuaikan agar masyarakat yang mempertahankan adat istiadatnya menyamakan hari perayaannya, speerti grebeg maulud dan sedekah laut atau gunung.
Malam Satu Suro
Seperti Hijriah, kalender Jawa menentukan batas peralihan hari pada terbenamnya matahari. Dengan pergantian tahun, malam satu Suro sarat dengan spiritualitas dan filosofis Jawa dan Islam. Sultan Agung, sebagai pemberi makna di dalam harian kalender, punya beberapa kebiasaan yang diikuti masyarakat Jawa hari ini.
Sampai hari ini, Keraton Yogyakarta dan Surakarta mempertahankan tradisi keliling benteng yang sudah ada sejak periode Mataram. Awalnya, tradisi ini hanya dilakukan oleh abdi dalem, hingga belakangan turut melibatkan masyarakat.
Setiap tempat punya tradisi malam satu Suro yang berbeda-beda, namun menekankan keheningan dan instropeksi diri. Oleh karenanya, anjurannya adalah untuk menghindari kegiatan yang dianggap buruk seperti hura-hura, keluar rumah, menggelar hajatan, atau bertengkar.
Keheningan ini jadi keharusan bagi masyarakat yang memertahankan nilai-nilai Jawa. Pasalnya, malam tersebut punya nilai kosmologis di mana batasan alam gaib dan alam manusia sangat tipis.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR