"Hasil kami menunjukkan bahwa kura-kura lebih tertarik untuk membuat sarang alami di habitat lahan pertanian, dan pilihan ini memiliki konsekuensi untuk kesuksesan reproduksi mereka," ujar Hopkins.
Fenomena ini juga disebabkan karena tanaman padat bertunas dengan cepat sepanjang musim panas. Tanaman-tanaman pertanian itu kemudian dengan cepat membuat teduh sarang kura-kura snapping.
Inilah yang kemudian menghasilkan ketimpangan jenis kelamin pada telur kura-kura yang berhasil menetas.
Para peneliti juga menemukan bahwa efek ini diperparah oleh polusi merkuri di sepanjang Sungai Selatan Virginia. Merkuri sebelumnya telah diketahui mempengaruhi reproduksi reptil.
Baca juga: Dampak Penambangan di Kamerun: Nyawa dan Rusaknya Lingkungan
Tapi, baru kali ini, mereka menemukan polusi merkuri mempengaruhi rasio jenis kelamin. Dalam laporan di jurnal Biological Conservation, peneliti menemukan tingkat merkuri yang lebih tinggi dalam darah induk kura-kura berkaitan dengan jumlah kura-kura jantan yang menetas.
Dengan kata lain, ini memperparah pengaruh suhu pada penetasan kura-kura. Menurut Hopkins, populasi kura-kura sangat sensitif terhadap ketimpangan rasio jenis kelamin, lebih banyak jantan.
Hal ini yang bisa menyebabkan penurunan populasi pada kura-kura jenis ini.
"Interaksi yang tidak terduga ini menimbulkan kekhawatiran baru yang serius tentang bagaimana satwa liar menanggapi perubahan lingkungan karena kegiatan manusia," ujar Hopkins.
Baca juga: Terungkap, Inilah Alasan Sebenarnya Kura-kura Punya Tempurung
"Mereka juga menambahkan lapisan tambahan kompleksitas ke proyeksi perubahan iklim saat ini," tutupnya.
Artikel ini telah tayang di kompas.com. Baca artikel sumber.
Source | : | Science Alert |
Penulis | : | Citra Anastasia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR