Babi berjanggut juga merupakan binatang buruan favorit masyarakat Kalimantan. Babi berjanggut mewakili 97% dari daging satwa liar yang dikonsumsi oleh para pemburu-pengumpul dari suku Punan.
Perburuan babi hutan, suatu praktik yang diyakini berusia lebih dari 35.000 tahun, menunjukkan posisi menonjol babi berjanggut dalam budaya penduduk Kalimantan. Mereka meyakini babi berjanggut sebagai penghubung antara manusia dan roh yang mengatur akses ke sumber daya hutan.
Baca juga: Peneliti Temukan Rusa Misterius Berkepala Dua di Hutan Minnesota
Penurunan jumlah babi hutan atau penemuan babi yang mati di dalam hutan adalah pertanda buruk bagi suku Punan. Mereka menginterpretasikan ini sebagai ekspresi murka kekuatan supernatural terhadap mereka, pertanda bahwa mereka perlu memulihkan harmoni dengan alam melalui perilaku hemat dan intervensi dukun.
Melalui interaksinya dengan satwa liar hutan lainnya—burung, kera, rusa menggonggong—babi hutan berjanggut mengungkapkan hubungan yang dimiliki masyarakat Kalimantan dengan hutan mereka. Masyarakat Kalimantan meyakini bahwa hidup bersama dengan semua makhluk hidup dan penggunaan sumber daya alam dengan tidak berlebihan. Bagi suku asli Kalimantan, mamalia ini lebih dari sekadar binatang buruan.
Babi berjanggut dapat hidup di lingkungan yang paling terdegradasi berkat kemampuan adaptasinya dengan menjadi pemakan segala, dan menjauhkannya dari ambang kepunahan. Meski demikian babi berjanggut tetap masuk Daftar Merah IUCN. Ini mengindikasikan degradasi hutan Kalimantan sudah parah.
Masyarakat Kalimantan yang secara tradisional memburu babi hutan berada di garis depan dalam mendeteksi perubahan pada perilaku binatang yang penuh karisma ini. Mereka bahkan lebih efisien daripada ahli ekologi yang paling terkemuka. Mereka adalah penjaga lingkungan mereka dan dapat menjadi mitra berharga bagi komunitas ilmiah internasional dalam memantau dan memahami berbagai penggerak perubahan, termasuk perubahan iklim, yang mempengaruhi hutan mereka.
Babi berjanggut adalah mamalia yang aneh tapi memegang peran kunci ekologi dan budaya. Mereka saksi bahwa pelestarian hutan yang berkelanjutan perlu mengikutsertakan kearifan lokal dan visi masyarakat adat tentang dunia.
Edmond Dounias, Directeur de recherche, interactions bioculturelles, Institut de recherche pour le développement (IRD)
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR