Di lain sisi, Herrera berkomitmen untuk berbohong lebih banyak lagi. Ia memberi tahu rekan-rekan prajuritnya bahwa selalu bercukur di pagi hari sebelum yang lain bangun. Herrera mendapat pengakuan atas kecerdasan, keberanian, dan keterampilannya untuk menghancurkan jembatan.
Sementara itu, agar fisiknya terlihat seperti pria, Robles sengaja memilih kemeja dengan kantung besar dan mengikuti perilaku yang biasa dilakukan laki-laki pada saat itu. Robles menonjol karena sifat agresinya, kebiasaan minum, dan keterampilan bersenjata yang dia miliki.
Tanpa ikatan yang dibagun dengan sesama pejuang gerilya selama perang, Robles mungkin tidak akan bisa mempertahankan identitas prianya sampai pertempuran berakhir.
Baca Juga : Kisah Kelam Sarah Baartman, 'Manusia Sirkus' dari Suku Khoikoi
Terkadang, soldaderas juga menjalankan fungsi ganda – hidup sebagai pria dan perempuan sekaligus. Mereka bisa naik pangkat dan memimpin puluhan pasukan laki-laki. Para wanita yang mencapai status ini disebut coronelas atau generalas.
Kurangnya pengakuan
Kontribusi perempuan selama Revolusi Meksiko tak terbantahkan lagi. Namun, setelah perang berakhir, beberapa dari mereka harus kembali ke peran tradisionalnya sebagai istri dan ibu.
Pada kenyataannya, budaya Meksiko baru mengenal perempuan dan upaya revolusi mereka di paruh kedua abad 20, ketika perempuan menjadi lebih aktif di bidang politik dan memberikan lebih banyak pengaruh di luar rumah.
Saat itulah, mereka baru mulai mengambil inspirasi dari revolusioner wanita yang hadir sebelum mereka, termasuk soldaderas.
“Soldaderas menantang gagasan tentang kehormatan maskulin yang dibanggakan. Mereka membuktikan bahwa perempuan juga bisa bertarung dan pemberani,” pungkas Piccato.
Source | : | Maura Hohman/History.com |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR