Nationalgeographic.co.id – Revolusi Meksiko berawal dari perjuangan rakyatnya untuk mendapatkan kebebasan sipil dan hak-hak tanah. Pergerakan ini akhirnya menggulingkan pemerintahan diktator Porfirio Diaz dan memulai era baru bagi Meksiko.
Perang yang berlangsung pada 1910 ini juga merupakan salah satu revolusi sosial di mana para perempuan didorong untuk bertempur. Konflik ini menawarkan momen untuk mematahkan peran tradisional mereka.
“Perempuan menganggapnya sebagai cara untuk keluar dari situasi represif,” ujar William Beezley, profesor sejarah di University of Arizona.
Ia menambahkan, para perempuan Meksiko mencari kesempatan hidup yang lebih baik. Mereka bisa ambil bagian dalam perang karena sistemnya tidak terstruktur. Pada masa itu, semakin baik struktur tentara, maka semakin rendah pula peran wanita dalam perang.
Baca Juga : Club 27, Musisi-musisi Terkenal Dunia yang Mati Muda di Usia 27 Tahun
Soldaderas, pejuang wanita di balik Revolusi Meksiko, mengambil beberapa peran tradisional seperti perawat dan istri, lalu sisanya ikut dalam pertempuran.
“Para wanita biasanya ikut suaminya ke medan perang. Soldaderas mendukung para pria dengan memasak dan menemani jaga malam di sekitar api unggun. Mereka adalah kekasih sekaligus perawat,” kata Gilbert Joseph, profesor sejarah di Yale University.
Meski begitu, soldaderas yang paling dikenal adalah pejuang revolusioner yang mengenakan rok panjang, topi jerami besar dan sabuk antipeluru – menunjukkan keberanian yang sama dengan para pria.
Pablo Piccato, profesor sejarah Amerika Latin dari Columbia University, memaparkan, banyak juga soldaderas yang menggunakan pakaian dan nama laki-laki. Hal itu dilakukan mereka untuk melindungi diri dari kekerasan seksual serta pejabat tinggi yang membenci pejuang wanita.
Berpura-pura sebagai pria
Dua soldaderas yang menggunakan identitas pria adalah Angela Jimenez (Angel) dan Petra Herrera (Pedro), Namun, mereka mengambil kembali identitas perempuannya setelah perang berakhir. Sementara itu, Amelio Robles (yang lahir dengan nama Amelia), melanjutkan hidupnya sebagai pria sampai kematiannya.
Jimenez, yang identitas aslinya diketahui oleh para laki-laki di sekitarnya, membangun reputasi dengan mengancam siapa pun yang mencoba menggodanya.
Di lain sisi, Herrera berkomitmen untuk berbohong lebih banyak lagi. Ia memberi tahu rekan-rekan prajuritnya bahwa selalu bercukur di pagi hari sebelum yang lain bangun. Herrera mendapat pengakuan atas kecerdasan, keberanian, dan keterampilannya untuk menghancurkan jembatan.
Sementara itu, agar fisiknya terlihat seperti pria, Robles sengaja memilih kemeja dengan kantung besar dan mengikuti perilaku yang biasa dilakukan laki-laki pada saat itu. Robles menonjol karena sifat agresinya, kebiasaan minum, dan keterampilan bersenjata yang dia miliki.
Tanpa ikatan yang dibagun dengan sesama pejuang gerilya selama perang, Robles mungkin tidak akan bisa mempertahankan identitas prianya sampai pertempuran berakhir.
Baca Juga : Kisah Kelam Sarah Baartman, 'Manusia Sirkus' dari Suku Khoikoi
Terkadang, soldaderas juga menjalankan fungsi ganda – hidup sebagai pria dan perempuan sekaligus. Mereka bisa naik pangkat dan memimpin puluhan pasukan laki-laki. Para wanita yang mencapai status ini disebut coronelas atau generalas.
Kurangnya pengakuan
Kontribusi perempuan selama Revolusi Meksiko tak terbantahkan lagi. Namun, setelah perang berakhir, beberapa dari mereka harus kembali ke peran tradisionalnya sebagai istri dan ibu.
Pada kenyataannya, budaya Meksiko baru mengenal perempuan dan upaya revolusi mereka di paruh kedua abad 20, ketika perempuan menjadi lebih aktif di bidang politik dan memberikan lebih banyak pengaruh di luar rumah.
Saat itulah, mereka baru mulai mengambil inspirasi dari revolusioner wanita yang hadir sebelum mereka, termasuk soldaderas.
“Soldaderas menantang gagasan tentang kehormatan maskulin yang dibanggakan. Mereka membuktikan bahwa perempuan juga bisa bertarung dan pemberani,” pungkas Piccato.
Source | : | Maura Hohman/History.com |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR