Nationalgeographic.co.id - Topik sampah plastik semakin marak menjadi perbincangan masyarakat dan berbagai lembaga terkait. Perilaku penggunaan produk plastik sekali pakai berimbas pada pencemaran lautan.
Jenna R. Jambeck, seorang ahli lingkungan, dilansir dari Beritagar mengatakan bahwa Indonesia berada pada posisi kedua dunia sebagai negara penyumbang sampah plastik ke lautan.
Setiap tahun, sebanyak 1,29 juta metrik ton sampah plastik Indonesia berakhir di lautan. Tidak terbayang seperti apa? Bayangkan saja 215 ribu ekor gajah Afrika Jantan dewasa dengan bobot masing-masing seberat 6 ton.
Salah satu produk plastik sekali pakai yang menyumbang polusi laut ini adalah sedotan plastik sekali pakai. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Divers Clean Action, kelompok pemerhati lingkungan khususnya laut, pemakaian sedotan di Indonesia mencapai 93.244.847 batang setiap harinya.
Baca Juga : Susah Menahan Lapar? 5 Cara ini Dapat Membantu Menunda Lebih Lama
Bila 93.244.847 batang sedotan plastik sekali pakai ini direntangkan, maka panjang yang dihasilkan adalah 16.784 km atau sama dengan jarak tempuh Jakarta menuju Meksiko.
Kemudian bila penggunaan sedotan ini dihitung dalam satu minggu, maka panjang keseluruhan sedotan ini adalah 117.449 km, dan dapat menjadi "sabuk" bagi Bumi. Bahkan sabuk ini dapat tiga kali melilit mengitari Bumi. Jarak satu kali keliling Bumi adalah 40.075.
Kemudahan dalam mendapatkan plastik sedotan sekali pakai dinilai menjadi penyebab banyaknya sedotan plastik mengotori Bumi. Karena mudah didapatkan, maka dengan mudah pula kita membuangnya.
Swietenia Puspa Lestari, founder Divers Clean Action mengatakan, data ini didapatkan dari gerakan #NoStrawMovement yang dilakukan pada tahun 2017 lalu sebagai respon atas banyaknya sampah sedotan plastik yang mengotori perairan dan pantai di Indonesia.
"Tahun 2015-2016 itu sudah banyak yang peduli soal limbah plastik dari kantong kresek atau botol air minum dalam kemasan, ada gerakan ini itu, tapi saya lihat untuk limbah sedotan plastik yang bikin kami para pecinta pantai dan diving sangat risih itu belum ada. Padahal sampah sedotan plastik dimana-mana," ungkap Tiena.
Perlu diketahui bahwa sedotan sekali pakai membutuhkan waktu yang lama agar dapat terurai. Tidak hanya itu, ketika material plastik ini tercacah di lautan dan menjadi mikro plastik, maka penghuni laut dan manusia lah yang pada akhirnya akan dirugikan. Mungkin saat ini Anda sudah pernah mengonsumsi plastik yang ada di dalam tubuh hewan laut.
Tiena mengungkap bahwa dalam waktu satu tahun terakhir, sampling sampah bawah laut dan Kepulauan Seribu menunjukkan adanya 16 kg sampah per 100 m2 perairan laut Pulau Pramuka di kedalaman 5-13 m.
Baca Juga : Seekor Kucing Temukan Sekantong Narkoba Jenis Heroin dan Kokain
Rumah makan siap saji, KFC, menghasilkan sekitar 400 ribu batang sampah sedotan sekali pakai dalam setiap tahun. Hendra Yuniarto, General Manager Marketing PT Fast Food Indonesia menyatakan bahwa KFC tergerak untuk mengajak konsumen menolak sedotan plastik sekali pakai.
Komitmen tersebut diwujudkan dengan menarik dispenser sedotan plastik sekali pakai mereka. Sejauh ini enam cabang KFC sudah turut serta dalam gerakan #NoStrawMovement untuk mengurangi sampah sedotan plastik sekali pakai.
Turut serta mengurangi sampah sedotan plastik
Selain KFC, gerakan ini juga berhasil membuat empat perusahaan multinasional lain untuk turut serta melakukan pengurangan sampah sedotan plastik sekali pakai. Gerakan ini terus menyebar dan meluas sehingga kini semakin banyak café dan rumah makan yang mengikuti inisiatif tersebut.
Seperti yang dilakukan oleh Maraca Café di Kota Bogor, yang tidak lagi menyediakan sedotan plastik sejak 3 bulan terakhir.
Risya Nuria Ikhsyania, pemilik Maraca café mengatakan, ini merupakan langkah sederhana yang bisa mereka lakukan sebagai pelaku usaha dalam menyikapi sebuah temuan di mana Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik terbanyak di dunia.
"Orang mikirnya saya cuma pakai 1 sedotan, itu sedikit. Tapi kami sebagai pelaku industri tahu berapa banyak sedotan yang kami gunakan. Sebelumnya Café saya seminggu itu bisa pakai lebih dari 1000 sedotan. Saya berpikir, berapa ribu sampah sedotan plastik yang sudah kami hasilkan sejak café ini buka," tuturnya.
Baca Juga : Remaja Australia Ciptakan Kantung Plastik Ramah Lingkungan dari Udang
Dilansir dari ABC pada Jumat (21/9/2018), Risya mengaku bahwa omset mereka tidak mengalami penurunan. Walau konsumen sempat mengeluhkan ketidaktersediaan sedotan di awal program ini berjalan. Tidak sedikit juga konsumen yang mengapresiasi kebijakan pengurangan sedotan ini.
"Sejak awal kami sudah bilang ke customer, kalau café kami tidak menyediakan sedotan plastik. Dan jika ingin menggunakan sedotan mereka bisa membeli sedotan pakai ulang yang dijual di café kami," tambahnya.
Sementara itu, fashion desainer batik orisinil, Helena Dewi Kirana juga menggagas gerakan Jakarta Tanpa Sedotan yang bertujuan menjadikan perilaku tidak menggunakan sedotan plastik sekali pakai sebagai tren gaya hidup baru di masyarakat.
"Kebayang gak kalau semua penduduk Jakarta yang suka nongkrong di café itu tidak lagi pakai sedotan, dalam satu hari let’s say ada sejuta orang ke cafe, udah sejuta sedotan berkurang dalam sehari, seminggu udah 7 juta sedotan jadi sangat signifikan," ujarnya.
Dengan memanfaatkan jaringan yang luas di media sosial, Helen menggandeng produsen lokal untuk menjadikan sedotan pakai ulang sebagai bagian dari gaya hidup baru yang trendy.
"Saya berdayakan komunitas ibu-ibu binaan saya di Purwakarta untuk membuat wadah sedotan pakai ulang yang cantik dari sisa kain produk fashion NES. Jadi kalau mereka nongkrong bawa sedotan gak perlu repot dan tetap bisa tampil trendi dengan wadah sedotan pakai ulang yang cantik," tambahnya.
Solusi atas ketergantungan terhadap sedotan plastik
Sedotan mungkin dapat memudahkan kita dalam mengonsumsi minuman, namun dampak dari ketidakmampuan manusia dalam mengelola sampah membuat sedotan menyumbang polusi di lautan.
Meski begitu, kebutuhan atas manfaat sedotan plastik sebenarnya dapat digantikan dengan berbagai sedotan dengan bahan dasar yang lebih ramah lingkungan.
Saat ini telah tersedia banyak produk alternatif pengganti sedotan plastik sekali pakai. Mulai dari sedotan stainless steel, bambu, kaca hingga bioplastic. Dan beberapa sedotan ramah lingkungan itu diproduksi di dalam negeri.
1. Sedotan dari pati jagung
Sedotan dari pati jagung ini diproduksi oleh perusahaan kemasan makanan dan minuman bioplastik yang berlokasi di Bali dengan merek dagang Avani Eco.
Bila melihat sekilas, sedotan ini memiliki penampilan bening yang sangat mirip dengan sedotan plastik. Karena itu untuk membedakan produk mereka, produsen sedotan ini memberi label #i'mnotplastic pada batang sedotan mereka.
Pemilik dan pendiri Avani, Kevin Kumala mengatakan jika sedotan plastik biasa butuh waktu 40-60 tahun untuk dapat terurai di alam, sementara itu sedotan Avani hanya butuh waktu 180 hari untuk hancur terurai.
Bahan utama sedotan Avani berupa sari pati jagung, memberi nilai tambah yang tidak ditawarkan dari produk bioplastik sebelumnya.
"Karena terbuat dari sari pati jagung, sedotan kami setelah terurai dia bisa menjadi kompos dan produk kami juga telah lulus uji oral toxicity sehingga aman jika dikonsumsi hewan laut," ujar Kevin.
Baca Juga : Fenomena Gaya Bahasa Anak Jaksel, Apakah Mengancam Bahasa Indonesia?
Selain sedotan dari pati jagung, Avani juga memproduksi sedotan dari kertas dan 36 produk kemasan makanan dan minuman yang sebelumnya terbuat dari plastik dan Styrofoam.
Semuanya diproduksi dari bahan alami, mulai dari boks makanan, cup untuk kopi atau minuman lain, kantong kresek, polybag hingga jas hujan dan lainnya.
Kevin menambahkan bahwa produknya menggunakan 3 bahan utama, yakni sari pati singkong untuk menggantikan kantong plastik, ampas tebu untuk pengganti styrofoam atau wadah makanan dan untuk sedotan menggunakan sari pati jagung.
Sekitar 70 hingga 80 persen produk sedotan Avani, digunakan oleh kliennya dari sektor horeka dan ritel yang berada di Pulau Dewata dan selebihnya di kota-kota besar seperti Jakarta.
Produk-produk bioplastic Avani lainnya semakin diminati oleh konsumen di luar negeri. Sehingga kini, Avani memiliki distributor resmi di sejumlah negara mulai dari Timur Tengah, Singapura, Sri Lanka hingga Afrika.
2. Sedotan kaca standar laboratorium
Amaranila Lalita Drijono, Dokter Kulit dan Kecantikan berkeinginan untuk mengajak masyarakat luas peduli dengan lingkungan terutama limbah sedotan plastik. Sehingga ia merancang sendiri sedotan pakai ulang dari bahan kaca yang menjadi sedotan kaca pertama buatan Indonesia yang memiliki standard alat Lab Kedokteran.
"Saya meminta rekan saya yang biasa memproduksi alat-alat kedokteran dan laboratorium untuk membuat sedotan dari bahan kaca. Awalnya mereka ketawa, buat apa sih bu alat begini, saya sendiri yang ajari, mulai dari ukuran sampai tingkat ketebalan," ungkapnya.
Amaranila memilih membuat sedotan pakai ulang—yang diberi merek Mata Cinta—dari bahan kaca karena dinilainya lebih higienis dan tahan lama. Sedotan itu akan dipasarkan sepasang dengan sikat bulu sebagai alat pembersih sedotan. Sikat yang digunakan untuk sedotannya menggunakan bahan alami berupa bulu sapi atau bulu kuda.
Baca Juga : (FOTO) Mencoba LRT Jakarta, Moda Transportasi Baru nan Modern
"Karena terbuat dari kaca, jadi bisa terlihat apakah bersih atau kotor bagian dalamnya, dan saya juga merancang sikat pembersihnya agar benar-benar pas sehingga bisa membersihkan secara sempurna," tambahnya lagi.
Banyaknya orang-orang yang tertarik dengan sedotan pakai ulang kaca ini, membuat karyanya juga semakin meningkat. Pada awal produksi sedotan kaca pada tahun 2016, ia hanya membuat 100 buah sedotan dan untuk kalangan terbatas saja. Namun kini dalam sebulan, Amaranila mengaku bisa melayani lebih dari 1000 pesanan.
3. Sedotan bambu buluh
Komunitas peduli lingkungan di Gianyar, Bali menjadi salah satu komunitas yang memproduksi sedotan pakai ulang dari bambu.
Dengan nama Griya Luhu, mereka memilih menggunakan bambu buluh yang berdiameter kecil sebagai bahan utama sedotan mereka.
Mandhara Brasika, pendiri Griya Luhu mengatakan, awalnya sedotan bambu yang mereka buat hanya ditujukan sebagai barang souvenir.
Bahan baku yang melimpah dan proses pembuatan yang sederhana membuat harga sedotan dari bambu buluh lebih terjangkau bagi pemilik hotel dan rumah makan lokal dibanding mereka menyediakan sedotan pakai ulang dari steinless steel atau kaca untuk memenuhi tuntutan.
Baca Juga : Mengkhawatirkan, Masyarakat Sekitar Membuang Popok di Sungai Brantas
Mandhara mengatakan, jika sedotan bambu buluh dirawat dengan baik, berarti sedotan tersebut bisa bertahan 3 bulan atau maksimal 6 bulan
Sejak setahun terakhir sedotan tersebut banyak diminati pengelola hotel dan restoran di Pulau Dewata dan sejumlah kota lainnya.
"Karena Bali daerah wisata dan banyak tamu yang datang itu bule, mereka sudah paham bahaya limbah sedotan plastik dan sering menolak atau meminta sedotan pakai ulang. Jadi ketika tahu ada sedotan bambu pemilik dan pengelola hotel banyak memesan baik untuk digunakan di tempat mereka maupun untuk souvenir," kata Mandhara.
Dalam waktu yang singkat, Griya Luhu mulai dipenuhi banyak pesanan. Bermula dari 100 buah sedotan saja, kini komunitasnya bisa memproduksi lebih dari 1000 – 2000 buah sedotan bambu setiap bulan.
"Kita berharap pemerintah turun tangan dengan menghentikan penuh distribusi sedotan plastik sekali pakai," ujarnya.
#BumiAtauPlastik #SayaPilihBumi
Source | : | Beritagar,abc net |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR