Nationalgeographic.co.id - Sebelum menjelang hari pernikahan, setiap calon mempelai wanita di Mauritania harus menggemukan tubuh mereka. Tradisi ini dikenal dengan nama Leblouh atau penggemukan secara paksa.
Mereka akan dipaksa makan dan menggemukan badan demi kecantikan. Ya, menurut penduduk Mauritania, wanita bertubuh gemuk akan lebih enak dipandang, cantik, kaya dan mudah diterima secara sosial. Berbeda dengan wanita bertubuh ramping yang dianggap lebih rendah dan membawa malu pada keluarga mereka.
Normalnya, dalam sehari orang dewasa hanya membutuhkan sekitar 2.000- 2.500 kalori, tetapi para gadis di Mauritania yang mengikuti tradisi ini dapat mengonsumsi 16.000 kalori makanan.
Baca Juga : Sering Tidak Disadari, Ternyata Ini Penyebab Mata Mudah Bintitan
Dilansir dari CNN, Mariam Mint Ahmed, seorang pedagang yang telah menikah menceritakan pengalaman mengenai Leblouh.
Menurutnya, sudah seharusnya tradisi ini diakhiri karena mengancam hidup mereka. Banyak gadis yang jatuh sakit akibat kebiasaan ini. Tradisi ini membuat para gadis di sana menderita.
Ini karena mereka dipaksa memakan makanan dalam jumlah yang sangat besar dan minum semangkuk susu kambing atau sapi.
Apabila para gadis tidak sanggup menghabiskannya, mereka akan dihukum. Salah satu metode yang dilakukan adalah mengikatkan jari kaki mereka di sebuah tongkat dan ditekan dengan kuat yang membuat rasa sakit pada kaki mereka.
Baca Juga : Peneliti Temukan Asal Penyebaran Virus HIV, Dari Negara Manakah?
Ahmed menceritakan, ketika dirinya berusia 13 tahun, ibunya memaksanya untuk menggemukan badan. Biasanya Ahmed diberi makan daging couscous dan lemak domba. Bahkan, dirinya sering dipukuli bila tidak menghabiskan makanannya.
Meski telah memiliki anak, Ahmed tidak menerapkan tradisi tersebut kepada putrinya.
Menurut sebuah studi dari Asosiasi Solidaritas Sosial tahun 2007, hanya tujuh persen gadis kota yang dipaksa menggemukan badan sedangkan di daerah pedesaan mencapai 75 persen.
Source | : | CNN,rt.com |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR