Nationalgeographic.co.id - Sebuah plang bertuliskan “Kedai K-Noman” terlihat mencolok di pinggir Jalan Lisman yang membentang di Desa Campurejo, Kecamatan Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Pasalnya, plang itu berada di atas sebuah lorong lebar terbuat dari kasa dan diapit taman dan toko bunga yang rimbun. Keberadaan dan tampilannya yang tak biasa bila dibandingkan dengan pemandangan rumah ini memang ditujukan untuk menggelitik rasa penasaran orang yang lewat, agar meluangkan waktu untuk mampir dan melongok ke dalam dan melihat apa yang ditawarkan.
Di dalam, pengunjung disambut dengan sebuah monumen berupa wellhead (kepala sumur) yang dicat merah menyala dan mencolok di depan kedai. Monumen ini menjadi penanda bahwa K-Noman bukanlah kedai pada umumnya. Ia dilengkapi dengan media edukasi tentang pengeboran minyak dan gas dan perpustakaan mini di salah satu sudutnya. Lumrah, Desa Campurejo memang termasuk wilayah Ring Satu Operator Minyak dan Gas (Migas) Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB PPEJ).
Baca Juga : Peneliti Kembangkan Baterai Ponsel yang Hanya Perlu Dicas Seminggu Sekali
Kedai K-Noman terdiri dari saung utama dan saung-saung kecil yang berdiri acak di sisi-sisinya, dengan jalan setapak atau jembatan kayu yang dicat warna-warni yang menghubungkan mereka satu sama lain. Berbagai tanaman hias dan bunga bertebaran di sekelilingnya memberi nuansa teduh dan sejuk. Di belakangnya bisa terlihat hamparan ladang sawah yang kala itu sedang menghijau. Terlihat pula interior dan dekorasi kekinian, seperti mural yang menghiasi beberapa dinding serta spot-spot untuk berswafoto, seperti panggung berbentuk hati yang menjorok ke arah sawah. Pula, ia dilengkapi dengan fasilitas Wi-Fi gratis.
Asri, tidak terlihat seratus persen tradisional seperti kebanyakan rumah makan bergaya saung, dan kekinian adalah kesan pertama dari kedai yang terkenal menyajikan menu tradisional khas Bojonegoro ini. Nyaman untuk dikunjungi keluarga, pula asyik untuk menjadi tempat menongkrong bagi pemuda-pemudi lokal. Pantas saja ia dinamai K-Noman yang merupakan singkatan dari "kanggo nongkrong cah nomnoman". Dalam bahasa Indonesia, artinya "buat nongkrong anak muda".
Waktu menunjukkan pukul 8 pagi, tetapi suasana sepi kedai dan restoran K-Noman sudah terisi dengan energi penuh semangat. Suwito, seorang pemuda berbadan tegap, dengan cekatan membuka area kasir yang berada di saung utama. Tidak lama setelahnya, suara musik seketika berdentum kencang, menandakan hari di K-Noman dimulai. Ternyata ruang kasir itu sekaligus menjadi ruang yang mengatur sistem suara.
"Ini bisa buat live juga," tuturnya dengan suara agak kencang, supaya tidak kalah dengan suara musik yang baru saja ia putar. Jarinya dengan lihat memutar beberapa tombol di panel yang mengatur speaker dan sistem tata suara itu. "Siapa saja boleh manggung di sini, asal daftar dulu."
Kami mengangguk sembari menikmati musik berirama cepat yang sedang diputar: musik ajeb-ajeb khas musik dansa elektronik (EDM). Di pinggir sawah yang membentang hijau, suara EDM memecah kesunyian pagi itu. Menilik lokasi dan waktu, sebenarnya ini bukan padanan yang pas, walau mungkin tidak aneh pula. Kedai dan restoran ini dikelola oleh anak muda dan EDM adalah salah satu genre musik yang mereka gandrungi. Atau, bisa jadi lagu ini dipilih untuk menjadi penyemangat bagi mereka yang sedang menyiapkan kedai ini sebelum pengunjung pertama datang.
Selain Sutiwo, terlihat ada Heny yang gesit membersihkan tempat lesehan dan Nunung yang membantu mempersiapkan dapur. Terlihat seorang pemuda berkaos hitam dengan sablonan logo K-Noman di bagian depannya memperhatikan kerja teman-temannya sembari membantu. M. Ali Safi’i adalah pengelola K-Noman. Pemuda yang juga menjabat sebagai Ketua Karang Taruna Nusa Bakti ini tidak sendirian mengurusi K-Noman. Ia ditemani beberapa orang rekannya, Dwi Yuliana, dan delapan karyawan, termasuk Sutiwo, Heny, dan Nunung.
“Saya senang bekerja di K-Noman karena ini milik desa,” aku pria yang memiliki warung kopi di rumahnya, “Saya bisa berkreasi untuk desa bersama-sama dengan beberapa pemuda, dan paling tidak memberikan sesuatu untuk desa ini.”
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR