Ia merasa telah diayomi dengan sungguh-sungguh, karenanya ia setia mengabdi sebaik-baiknya. Kesetiaannya juga ia tularkan pada keluarganya, dari istri, anak, cucu, hingga cicit. Keluarga pemilik dan pekerja pabrik mi lethek ini saling menghormati satu sama lain.
Seraya menunjuk lantai semen pekarangan, Feri mengungkapkan, “Di bawah sini, dulu, si mbah membangun bungker tempat tentara kita bersembunyi dari kejaran tentara Belanda.”
Meski berjasa dan menyandang nama besar, si mbah, sebagaimana dikenang Feri, tidak ingin anak cucunya memanfaatkan jasa atau nama besarnya. “Kami harus menjadi besar atas usaha sendiri. Kini, saya melanjutkan usaha si mbah bersama para pekerja yang sejak awal mengabdi padanya. Saya tidak pernah menunggui mereka bekerja. Mereka sudah otomatis melakukan pekerjaannya,” kata Feri
“Saya pernah mengata-kan pada mereka, ‘Jadi mi ya kamu, nggak jadi mi ya kamu. Laku dijual ya kamu, nggak laku dijual ya kamu'," ujarnya. Kunjungan ke pabrik mi lethek kali ini membuat kami “kenyang” pembelajaran berharga tentang loyalitas, dedikasi, dan semangat melestarikan warisan leluhur yang tak lekang oleh waktu.
Kisah lebih lengkap perjalanan ini pernah diangkat dalam National Geographic Traveler edisi April 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR