"Maturnuwun, simbah sampun ditiliki (terima kasih simbah sudah dijenguk)." Itulah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Jirah, perempuan yang tinggal di Padukuhan Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.
Meski tidak jelas tanggal lahirnya, Jirah mengaku telah berusia 90 tahun. Di usianya yang cukup tua, kehidupan Jirah sangat memprihatinkan. Ia tinggal seorang diri di pinggiran kebun salak lereng Gunung Merapi. Tak hanya itu, ia pun harus menjalani hidup dengan segala keterbatasan karena tidak adanya saudara.
Tempat tinggalnya pun sangat tidak layak. Nenek tua ini hidup di sebuah gubuk berukuran 2 meter x 3 meter. Dindingnya sebagian besar hanya memanfaatkan spanduk. Bahkan, tiang di sisi pintu tampak sudah menjadi sarang lebah.
Di tempat yang sempit itulah setiap malam kulit tuanya harus merasakan dinginnya udara pegunungan dan tetesan air hujan yang masuk melalui sela-sela retakan atap asbes. Alas tidurnya pun hanya tikar yang tampak sudah usang.
"Ya, ini rumah saya. Maaf tidak bisa mengajak ke dalam, sempit," ucap Jirah, Minggu (15/3).
Perempuan tua yang oleh warga sering dipanggil Jinem ini mengaku sudah lama tinggal di gubuknya. Namun, Jinah sudah tidak dapat mengingat kapan tepatnya dirinya mulai menempati gubuk berukuran 2 meter x 3 meter itu. " Sudah lama, kalau tepatnya orang dulu tidak menghafal tanggal dan tahun. Jadi pokoknya sudah lama," ujarnya.
Menurut Jirah, dulu ia lahir di Padukuhan Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Saudara satu-satunya telah meninggal saat bekerja di Palembang. Waktu masih muda, Jirah bekerja sebagai penjual buah jambu dan buah salak di Pasar Godean, Sleman. Sebab, kebun miliknya yang saat ini ia tempati banyak terdapat pohon jambu dan salak.
Namun, pohon jambu yang hidup di kebunnya lambat laun mati. Ia pun tak sanggup lagi merawat kebun salak karena kondisi fisiknya yang sudah tidak lagi memungkinkan. "Saya tidak punya siapa-siapa. Anak saya dulu usia 2,5 bulan meninggal, suami juga sudah meninggal. Dari dulu hidup sendiri di sini," tandasnya.
Untuk makan sehari-hari, Jinah hanya mengandalkan bantuan dari para tetangga. Kalau tidak ada bantuan, Jirah pergi ke kebun untuk memetik sayuran atau buah nangka untuk dimasak.
"Ya, tidak pasti. Tapi ada yang bantu memberi beras. Kalau pas tidak ada, ya pergi ke kebun memetik sayuran, seperti buah nangka muda," ucapnya.
Jirah pun mengaku tetap bersyukur. Meski hidup sebatang kara, dia masih selalu diberi kesehatan.
Bersama seekor anjing
Meski hidup tanpa saudara, hari-hari Jirah tak lagi sepi setelah seseorang memberinya seekor anak anjing yang diberi nama "Semut". Semut setiap hari selalu menemani Jirah ke mana pun ia pergi, mulai dari ke kebun ataupun sekadar berjalan-jalan keliling kampung.
"Namanya Semut, dia yang menemani saya di sini. Kalau pas jalan ke kebun ya pasti ikut," tuturnya.
Bahkan, setiap malam ketika Jirah tidur di dalam gubuknya, Semut selalu setia berada di depan pintu. Semut baru akan bergerak ketika Jirah terbangun dan keluar dari gubuknya. "Kalau saya tidur, Semut pasti jaga di depan pintu. Dia baru main kalau saya sudah keluar rumah," tandasnya.
Jirah mengaku tidak kesulitan memberi makan Semut. Seakan, anjing betina berwarna hitam putih itu pun mengerti kondisi dari tuannya. Setiap hari Semut pun memakan apa pun yang diberikan Jirah, mulai dari nasi putih sampai dengan sayur nangka muda. "Ya apa yang saya masak, saya berikan. Pasti makan, nasi putih kadang sayuran," ucapnya.
Menurut dia, Semut-lah yang selama ini menemani setiap hari-harinya. Dalam hidup kesendirian tanpa saudara, Semut-lah yang selalu membuatnya tersenyum dengan tingkah lucunya kala bermain. "Hiburan saya ya Semut. Untung masih ada Semut," pungkasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR