Pemerintah perlu segera mengevaluasi kebijakan pemberian bebas visa bagi warga negara dari 169 negara. Arus lalu lintas warga negara asing yang semakin deras perlu diantisipasi dan dievaluasi agar tidak sampai mengancam keamanan dan kedaulatan negara.
Desakan untuk evaluasi menguat karena munculnya beberapa persoalan yang diperparah dengan penerapan kebijakan bebas visa.
Beberapa di antaranya, peningkatan pelanggaran izin tinggal yang dilakukan sejumlah warga negara asing, meningkatnya tenaga kerja WNA yang memanfaatkan bebas visa kunjungan lalu mempersulit perebutan lapangan kerja di Indonesia, serta pintu masuk terhadap jaringan narkoba dan terorisme.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly di sela kunjungan kerja ke Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara, Jumat (22/7/2016), mengatakan, pemerintah akan mengevaluasi kebijakan bebas visa setelah diterapkan selama satu tahun. Sejauh ini, kebijakan pembebasan visa untuk 169 negara telah berjalan selama enam bulan.
”Memang, pada waktunya itu perlu dievaluasi. Kalau misalnya ada negara yang wisatawannya tidak signifikan dan lebih banyak membahayakan serta melanggar aturan imigrasi, itu akan dievaluasi,” kata Yasonna.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, 10 negara yang warga negaranya paling banyak melanggar kebijakan bebas visa adalah Tiongkok, Afganistan, Banglades, Filipina, Irak, Malaysia, Vietnam, Myanmar, India, dan Korea Selatan.
WN Tiongkok menduduki peringkat pertama dengan jumlah yang signifikan, yakni 1.180 pelanggaran pada Januari-Juli 2016. Adapun WN Afganistan melakukan 411 pelanggaran, Banglades (172), Filipina (151), dan Irak (127). Sanksi yang paling banyak dijatuhkan adalah deportasi. Selama tujuh bulan terakhir, 2.856 kasus pelanggaran oleh WNA dijatuhi sanksi deportasi.
!break!
Pekerja asing
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P daerah pemilihan Banten 3, Marinus Gea, di sela-sela kunjungannya di Pulau Nias, mengatakan, banyaknya pelanggaran imigrasi dan penyelewengan bebas visa patut diperhatikan serius agar pemerintah segera melakukan evaluasi.
”Ini mulai mengganggu kedaulatan negara. Apalagi, dengan munculnya banyak tenaga kerja asing, seperti dari Tiongkok yang kita temukan di sejumlah pabrik, mengerjakan yang bisa dikerjakan oleh warga negara kita. Pemerintah jangan sampai hanya mengejar kuantitas, tetapi tidak membentengi kedaulatan negara sendiri,” kata Marinus.
Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani, yang membawahi ketenagakerjaan, mengatakan, momentum Masyarakat Ekonomi ASEAN jangan sampai mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Banyak WNA, seperti dari Tiongkok, yang memanfaatkan momentum itu serta kebijakan bebas visa masuk ke Indonesia lalu memperpanjang masa tinggal dan bekerja di Indonesia.
Kriteria evaluasi
Menurut Yasonna, kriteria negara yang akan segera dievaluasi adalah negara yang warganya banyak menyalahgunakan bebas visa kunjungan untuk menetap dan bekerja di Indonesia. Kriteria lain adalah negara penerima bebas visa yang jumlah wisatawannya ternyata tidak signifikan dan tidak menyumbang banyak devisa bagi Indonesia.
Terkait dengan WNA dari Tiongkok yang menduduki peringkat pertama pelanggar imigrasi, Yasonna mengatakan, pemerintah masih berhati-hati menyikapinya. Di satu sisi, pemerintah mengharapkan potensi wisata dari WNA Tiongkok, tetapi di sisi lain, banyak pelanggaran imigrasi yang muncul karena bebas visa untuk Tiongkok.
”Jujur saja, kalau kita lihat dari tingkat pelanggaran, Tiongkok memang paling banyak. Namun, itu tidak bisa dijadikan patokan juga karena angka wisatawan dari mereka memang paling banyak. Wajar jika lebih banyak jumlahnya, lebih banyak persoalannya,” kata Yasonna. (AGE)
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR