Kisah Tenun dan Komunitas Lakoat Kujawas dari Desa Taiftob NTT

By Agni Malagina, Rabu, 9 Januari 2019 | 09:00 WIB
Warga menenun kain has Mollo yang berwarna merah putih di desa Nausus, kaki Gunung Mutis. (Roberto Saccon)

Nationalgeographic.co.id - Sejarah tenun pulau Timor tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah berbagai suku yang ada di Timor. Setiap suku mempunyai kekhasan motif tenun dan warna yang menjadi pembeda, walaupun secara garis besar dapat dibedakan antara daerah Timor Tengah Selatan (TTS) dengan daerah yang lain melalui adanya ketiga suku terbesar, yaitu Mollo, Amanuban, dan Amanatun.

Ketiga suku ini membentuk daerah yang sekarang dikenal sebagai TTS, meskipun tidak dapat dimungkiri bahwa imigran sudah ada sejak dahulu sebelum sebelum era kolonial. Pulau Timor sudah dikenal oleh berbagai bangsa, terutama bangsa Tionghoa yang datang ke pulau Timor karena keharuman Cendana dan lilin (malam lebah).

TTS, terutama wilayah Mollo, secara garis besar dapat dikatakan sebagai daerah dataran tinggi yang berhawa sejuk sampai dingin. Oleh sebab itu secara umum dapat dikatakan bahwa mereka membutuhkan kain yang dapat melindungi tubuh mereka dari hawa dingin. Oleh karena itu, kain tenun di daerah ini berkembang dengan pesat sejalan dengan kebutuhan tersebut.

Baca Juga : Demi Foto Selfie Pengunjung, Lumba-lumba Dipaksa Naik ke Daratan

Seorang pemuda yang dikenal dengan nama Dicky Senda, penggiat kewirausahaan sosial di Desa Taiftob, Kecamatan Kapan, memiliki perhatian besar pada tenun dan mama penenun di desanya. Ia aktif dengan kewirausahaan sosial di desanya, mengajak warga untuk turut aktif memanfaatkan pangan lokal dan memperkenalkan budaya tradisi masyarakat Mollo kepada khalayak ramai.

Misinya bukan untuk mencari keuntungan, tapi memberdayakan warga dan menyelesaikan beberapa masalah sosial yang dihadapi masyarakat di desa mereka, seperti kemiskinan, rendahnya budaya literasi, korban perdagangan manusia, dan lainnya.

"Kain tenun tradisi memiliki fungsi adat. Kain tenun dipakai untuk melengkapi prosesi adat, seperti pesta pernikahan atau kematian. Bukan saja untuk dipakai saat kedua pesta itu, tapi dijadikan bahan antaran, seserahan, atau persembahan bagi tuan pesta atau pihak yg berduka. Selain itu dipakai juga utk acara-acara resmi, misalnya ke Gereja, pesta dan upacara adat lainnya,"ujar Dicky sambil memperkenalkan komunitas Lakoat.Kujawas (Lakoat: buah Lakoat, Kujawas: jambu biji) yang lahir pada tahun 2016.

Orang Timor memakai kain tenun sebagai sandang yang bukan hanya berfungsi sebagai model pakaian belaka. Zaman dahulu tentunya dipakai sebagai sandang sehari-hari dan sekaligus sandang penanda adanya perhelatan atau upacara tradisi nenek moyang.

Masa kini kain tenun terdesak oleh adanya tekstil yang jauh lebih murah, sehingga banyak ditemui justru perempuan Timor memakai sarung batik ataupun gaya masa kini.

”Kendala ya, banyak yang tidak menenun. Banyak motif yang hilang jejaknya. Orang lebih memilih pakaian formal lainnya sebagai pengganti. Misalnya saat hantaran peminangan atau untuk orang meninggal banyak membawa kain batik atau kemeja/hem biasa,” tambah Dicky.

Dicky juga mengungkapkan kendala lain, yakni generasi muda yang tidak lagi menenun. “Kalau dulu secara adat perempuan harus bisa menenun sebelum menikah, saat ini nilai itu tdk ada lagi. Toh sekolah formal juga tidak memberi ruang untuk itu. Mulai Januari 2019 Lakoat Kujawas berkolaborasi dengan SMPK Santo Yoseph Freinademetz mau bikin kelas tenun di sekolah itu,” jelas Dicky.

Komunitas Lakoat.Kujawas mencoba untuk merevitalisasi penggunaan pewarna alami untuk benang tenun. M (Dicky Senda)