Nationalgeographic.co.id - Sejarah tenun pulau Timor tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah berbagai suku yang ada di Timor. Setiap suku mempunyai kekhasan motif tenun dan warna yang menjadi pembeda, walaupun secara garis besar dapat dibedakan antara daerah Timor Tengah Selatan (TTS) dengan daerah yang lain melalui adanya ketiga suku terbesar, yaitu Mollo, Amanuban, dan Amanatun.
Ketiga suku ini membentuk daerah yang sekarang dikenal sebagai TTS, meskipun tidak dapat dimungkiri bahwa imigran sudah ada sejak dahulu sebelum sebelum era kolonial. Pulau Timor sudah dikenal oleh berbagai bangsa, terutama bangsa Tionghoa yang datang ke pulau Timor karena keharuman Cendana dan lilin (malam lebah).
TTS, terutama wilayah Mollo, secara garis besar dapat dikatakan sebagai daerah dataran tinggi yang berhawa sejuk sampai dingin. Oleh sebab itu secara umum dapat dikatakan bahwa mereka membutuhkan kain yang dapat melindungi tubuh mereka dari hawa dingin. Oleh karena itu, kain tenun di daerah ini berkembang dengan pesat sejalan dengan kebutuhan tersebut.
Baca Juga : Demi Foto Selfie Pengunjung, Lumba-lumba Dipaksa Naik ke Daratan
Seorang pemuda yang dikenal dengan nama Dicky Senda, penggiat kewirausahaan sosial di Desa Taiftob, Kecamatan Kapan, memiliki perhatian besar pada tenun dan mama penenun di desanya. Ia aktif dengan kewirausahaan sosial di desanya, mengajak warga untuk turut aktif memanfaatkan pangan lokal dan memperkenalkan budaya tradisi masyarakat Mollo kepada khalayak ramai.
Misinya bukan untuk mencari keuntungan, tapi memberdayakan warga dan menyelesaikan beberapa masalah sosial yang dihadapi masyarakat di desa mereka, seperti kemiskinan, rendahnya budaya literasi, korban perdagangan manusia, dan lainnya.
"Kain tenun tradisi memiliki fungsi adat. Kain tenun dipakai untuk melengkapi prosesi adat, seperti pesta pernikahan atau kematian. Bukan saja untuk dipakai saat kedua pesta itu, tapi dijadikan bahan antaran, seserahan, atau persembahan bagi tuan pesta atau pihak yg berduka. Selain itu dipakai juga utk acara-acara resmi, misalnya ke Gereja, pesta dan upacara adat lainnya,"ujar Dicky sambil memperkenalkan komunitas Lakoat.Kujawas (Lakoat: buah Lakoat, Kujawas: jambu biji) yang lahir pada tahun 2016.
Orang Timor memakai kain tenun sebagai sandang yang bukan hanya berfungsi sebagai model pakaian belaka. Zaman dahulu tentunya dipakai sebagai sandang sehari-hari dan sekaligus sandang penanda adanya perhelatan atau upacara tradisi nenek moyang.
Masa kini kain tenun terdesak oleh adanya tekstil yang jauh lebih murah, sehingga banyak ditemui justru perempuan Timor memakai sarung batik ataupun gaya masa kini.
”Kendala ya, banyak yang tidak menenun. Banyak motif yang hilang jejaknya. Orang lebih memilih pakaian formal lainnya sebagai pengganti. Misalnya saat hantaran peminangan atau untuk orang meninggal banyak membawa kain batik atau kemeja/hem biasa,” tambah Dicky.
Dicky juga mengungkapkan kendala lain, yakni generasi muda yang tidak lagi menenun. “Kalau dulu secara adat perempuan harus bisa menenun sebelum menikah, saat ini nilai itu tdk ada lagi. Toh sekolah formal juga tidak memberi ruang untuk itu. Mulai Januari 2019 Lakoat Kujawas berkolaborasi dengan SMPK Santo Yoseph Freinademetz mau bikin kelas tenun di sekolah itu,” jelas Dicky.
Kain orang Mollo, mempunyai ciri khas pada warna putih dan merah. Ciri khas tersebut sudah ditetapkan oleh nenek moyang orang Timor dan dipertahankan sampai masa kini dengan penuh kebanggaan oleh anak-cucu mereka.
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa moyang mereka menenun berdasarkan simbol-simbol tertentu, misalnya warna putih menyimbolkan air dan merah adalah tanah. "Kain tenun Mollo itu merah dan putih. Tidak ada daerah lain. Ada simbol burung atau paukolo yang artinya simbol raja. Ditenun dengan motif garis-garis yang melambangkan hutan sungai. Hutan merah, putih hutan, di tengah merah dan putih itu ada bentuk-bentuk permukiman yang melingkar," masih menurut Dicky.
Benang yang dicelup dalam pewarna alami, dahulu kala tentu berasal dari tanaman yang dapat ditemukan di TTS. Dicky dan rekan-rekan warga aktif Taiftob mulai menguji coba mencelup benang dengan pewarna alami pada bulan September 2018. "Itu seperti jadi pintu masuk untuk menggali memori dan pengetahun tenun dar orang tua untuk diteruskan ke generasi muda. Orang muda desa, kami ajak dalam workshop pewarnaan benang itu," jelas Dicky.
Ia pun mulai bergiat bersama warga untuk mempopulerkan kembali penggunaan tenun di setiap acara komunitas. "Mengembalikan rasa percaya diri para penenun bahwa tenun mereka masih punya manfaat seni budaya di kampung, dan syukur-syukur bisa meningkatkan perekonomian mereka lewat model kewirausahaan sosial," tegas Dicky yang pernah mengikuti acara model kewirausahaan sosial di Inggris pada acara Drivers for Change, Juni tahun lalu. Dengan tegas ia menekankan bahwa kemandirian warga adalah harapan menuju kehidupan yang lebih baik, bahwa desa adalah masa depan.
Baca Juga : Suku Anak Dalam Batin Sembilan: Lebih Terbuka dan Memiliki Harapan
Dicky juga menjelaskan bahwa ia dan kawan-kawan berusaha menghidupkan pasar untuk para penenun tradisi, "Menciptakan pasar baru untuk mereka, juga ikut membantu meyakinkan mereka bahwa tenun itu masih perlu dan ada pasarnya. Tapi secara internal mereka, kita semua bangga bahwa dalam banyak kegiatan di komunitas, kita bangga memakai tenun. Ada ruang-ruang budaya yang harus diciptakan lagi di kampung. Membuat proses tenun menjadi vital lagi," ujar Dicky yang juga mendirikan perpustakaan warga di sudut kecil rumahnya yang kini ramai dikunjungi anak-anak desa Taiftob dan sekitarnya.
Motif tradisional yang menjadi ciri khas TTS terdiri dari binatang melata, seperti buaya, cicak, dan biawak. Hewan-hewan ini dianggap mewakili atau simbol dari Uis Neno, penguasa bumi. Sementara itu, motif hewan yang dapat terbang seperti burung mewakili atau menyimbolkan Uis Pah penguasa dunia atas. Kedua penguasa dunia ini berasal dari kepercayaan kuno orang Timor.
Saat ini, kain tenun di TTS rata-rata menggunakan benang tekstil dengan pewarna kimia. Kondisi dan situasi lah yang tidak memungkinkan penenun membeli benang dengan kualitas baik, sehingga warna benang cenderung luntur bila dicuci.
Hal serupa juga ditemui pada pewarnaan alami. Benang kapas yang dipintal sendiri kemudian berulang kali dicelup dalam larutan pewarna alam seperti pewarna biru dari indigo, warna merah dari akar mengkudu dan sebagainya. Warna-warna ini biasanya luntur ketika dicuci, hal ini memang tidak dapat dihindari karena warna alam hampir tidak dapat difiksasi.
Demikian pula dengan pemakaian benang alam yang harus diperkenalkan kembali. Hal ini terkait dengan teknik ikat yang memang jauh lebih rumit dan pengenalan bahan fiksasi untuk benang alam. Penanaman kembali tanaman penghasil warna alam seperti indigovera, mengkudu, dan lainnya menjadi kebutuhan yang perlu diperhatikan dan memerlukan kerja sama dengan pemerintah setempat untuk budidaya pewarna alami.
Penulis: Agni Malagina/Lilawati Kurnia.
Lilawati Kurnia adalah staff pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Ia beserta tim mengadakan penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia di Mollo pada tahun 2018.