Kisah Tenun dan Komunitas Lakoat Kujawas dari Desa Taiftob NTT

By Agni Malagina, Rabu, 9 Januari 2019 | 09:00 WIB
Warga menenun kain has Mollo yang berwarna merah putih di desa Nausus, kaki Gunung Mutis. (Roberto Saccon)

Kain orang Mollo, mempunyai ciri khas pada warna putih dan merah. Ciri khas tersebut sudah ditetapkan oleh nenek moyang orang Timor dan dipertahankan sampai masa kini dengan penuh kebanggaan oleh anak-cucu mereka.

Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa moyang mereka menenun berdasarkan simbol-simbol tertentu, misalnya warna putih menyimbolkan air dan merah adalah tanah. "Kain tenun Mollo itu merah dan putih. Tidak ada daerah lain. Ada simbol burung atau paukolo yang artinya simbol raja. Ditenun dengan motif garis-garis yang melambangkan hutan sungai. Hutan merah, putih hutan, di tengah merah dan putih itu ada bentuk-bentuk permukiman yang melingkar," masih menurut Dicky.

Benang yang dicelup dalam pewarna alami, dahulu kala tentu berasal dari tanaman yang dapat ditemukan di TTS. Dicky dan rekan-rekan warga aktif Taiftob mulai menguji coba mencelup benang dengan pewarna alami pada bulan September 2018. "Itu seperti jadi pintu masuk untuk menggali memori dan pengetahun tenun dar orang tua untuk diteruskan ke generasi muda. Orang muda desa, kami ajak dalam workshop pewarnaan benang itu," jelas Dicky.

Ia pun mulai bergiat bersama warga untuk mempopulerkan kembali penggunaan tenun di setiap acara komunitas. "Mengembalikan rasa percaya diri para penenun bahwa tenun mereka masih punya manfaat seni budaya di kampung, dan syukur-syukur bisa meningkatkan perekonomian mereka lewat model kewirausahaan sosial," tegas Dicky yang pernah mengikuti acara model kewirausahaan sosial di Inggris pada acara Drivers for Change, Juni tahun lalu. Dengan tegas ia menekankan bahwa kemandirian warga adalah harapan menuju kehidupan yang lebih baik, bahwa desa adalah masa depan.

Baca Juga : Suku Anak Dalam Batin Sembilan: Lebih Terbuka dan Memiliki Harapan

Dicky juga menjelaskan bahwa ia dan kawan-kawan berusaha menghidupkan pasar untuk para penenun tradisi, "Menciptakan pasar baru untuk mereka, juga ikut membantu meyakinkan mereka bahwa tenun itu masih perlu dan ada pasarnya. Tapi secara internal mereka, kita semua bangga bahwa dalam banyak kegiatan di komunitas, kita bangga memakai tenun. Ada ruang-ruang budaya yang harus diciptakan lagi di kampung. Membuat proses tenun menjadi vital lagi," ujar Dicky yang juga mendirikan perpustakaan warga di sudut kecil rumahnya yang kini ramai dikunjungi anak-anak desa Taiftob dan sekitarnya.

Motif tradisional yang menjadi ciri khas TTS terdiri dari binatang melata, seperti buaya, cicak, dan biawak. Hewan-hewan ini dianggap mewakili atau simbol dari Uis Neno, penguasa bumi. Sementara itu, motif hewan yang dapat terbang seperti burung mewakili atau menyimbolkan Uis Pah penguasa dunia atas. Kedua penguasa dunia ini berasal dari kepercayaan kuno orang Timor.

Saat ini, kain tenun di TTS rata-rata menggunakan benang tekstil dengan pewarna kimia. Kondisi dan situasi lah yang tidak memungkinkan penenun membeli benang dengan kualitas baik, sehingga warna benang cenderung luntur bila dicuci.

Hal serupa juga ditemui pada pewarnaan alami. Benang kapas yang dipintal sendiri kemudian berulang kali dicelup dalam larutan pewarna alam seperti pewarna biru dari indigo, warna merah dari akar mengkudu dan sebagainya. Warna-warna ini biasanya luntur ketika dicuci, hal ini memang tidak dapat dihindari karena warna alam hampir tidak dapat difiksasi.

Demikian pula dengan pemakaian benang alam yang harus diperkenalkan kembali. Hal ini terkait dengan teknik ikat yang memang jauh lebih rumit dan pengenalan bahan fiksasi untuk benang alam. Penanaman kembali tanaman penghasil warna alam seperti indigovera, mengkudu, dan lainnya menjadi kebutuhan yang perlu diperhatikan dan memerlukan kerja sama dengan pemerintah setempat untuk budidaya pewarna alami.

Penulis: Agni Malagina/Lilawati Kurnia.

Lilawati Kurnia adalah staff pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Ia beserta tim mengadakan penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia di Mollo pada tahun 2018.