Erupsi Gunung Anak Krakatau: Dampaknya pada Biodiversitas dan Tanah

By National Geographic Indonesia, Minggu, 6 Januari 2019 | 11:00 WIB
Aktivitas vulkanik di Gunung Anak Krakatau terus meningkat. Statusnya menjadi siaga (Level III). (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yang memicu terjadinya tsunami di Selat Sunda menyebabkan setidaknya 430 korban tewas di kawasan pantai Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018.

Indikasi aktivitas Anak Krakatau sebagai penyebab gelombang pasang dahsyat tersebut ditunjukkan oleh perubahan tubuh Anak Krakatau akibat erupsi ini. Sebelum tsunami tinggi Anak Krakatau mencapai 338 meter, setelah tsunami tinggal 110 m. Volume Anak Krakatau berkurang sekitar 70-80%.

Di luar urusan bencana tersebut, gunung Anak Krakatau, yang terletak di tengah lautan, merupakan lokasi penelitian yang sangat menarik bagi para peneliti internasional. Area Anak Krakatau menjadi laboratorium hidup dan saksi dimulainya proses kehidupan. Pertumbuhan gunung baru dan dimulainya siklus flora dan fauna di sana menarik minat para peneliti botani, biologi, zoologi, geologi, ekologi, dan pedologi (geologi tanah).

Baca Juga : Menurut Para Dokter, Ini 10 Resolusi Kesehatan yang Harus Diterapkan

Di balik dahsyatnya erupsi gunung, material yang dikeluarkannya merupakan bahan induk dari tanah. Dari material vulkanis ini seiring dengan waktu akan berkembang menjadi tanah yang subur.

Aktivitas vulkanik Krakatau Purba dapat ditelusuri hingga pada 416 Masehi yang dipercaya memicu gempa vulkanik dan tsunami. Erupsi Krakatau yang begitu dahsyat pada 1883 telah memusnahkan seluruh biodiversitas di Pulau Rakata, Panjang, Sertung, bahkan Pulau Sibesi, Lampung, yang berada 19 kilometer di utara. Saat itu permukaan tanah di pulau-pulau tersebut tertutup abu vulkanis dan mencapai 3 meter di Sibesi. Abu vulkanis Krakatau melapisi pesisir barat laut dan selatan Lampung.

Kala itu, volume material vulkanis yang dikeluarkan mencapai 25 kilometer kubik yang menutupi kawasan seluas 1,1 juta kilometer persegi. Ini termasuk material vulkanis yang menumpuk setinggi 40 meter di dasar laut. Terlempar dan jatuhnya kembali material vulkanis ini menyebabkan tsunami di Selat Sunda pada masa itu.

Walau erupsi kala itu terjadi di kawasan tropis, dampaknya dirasakan seluruh dunia, berupa turunnya suhu global dan kegelapan melanda hingga Eropa. Beberapa tahun berikutnya, terjadi anomali cuaca seperti turunnya salju di Cina pada musim panas. Redupnya sinar matahari menyebabkan laju foto sintesis tanaman pertanian terhambat yang berakibat gagal panen di Eropa.

Kondisi tanah

Kepulauan Krakatau di Selat Sunda merupakan puncak-puncak dari gunung api yang kakinya menapak di dasar laut. Ada Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang yang dulu dipercaya merupakan satu kesatuan di sana. Kemudian Gunung Anak Krakatau lahir pada 1930. Gunung tersebut mengalami siklus lahir, tumbuh, hancur, tumbuh dan begitu seterusnya.

Pada April 2015, saya memimpin para peneliti ilmu tanah dari Universitas Andalas mengadakan survei di Pulau Rakata, Panjang, Anak Krakatau, dan Sibesi. Di tiap lokasi, kami mengambil tanah sampai kedalaman tertentu dan dianalisis tanahnya di laboratorium. Ternyata kadar SiO2 (silika) dari sampel yang diambil berkisar antara 52-75% dan kadar SiO2 tertinggi ditemukan pada sampel Rakata dan Sibesi. Silika termasuk unsur hara mikro dan dibutuhkan untuk membantu metabolisme tanaman dan membantu tanaman mengatasi keadaan kekeringan.

Kadar belerang tertinggi didapatkan pada sampel Anak Krakatau diikuti oleh sampel dari Panjang, Rakata dan Sibesi. Belerang diperlukan tanaman untuk pembentukan enzim dan protein.