Erupsi Gunung Anak Krakatau: Dampaknya pada Biodiversitas dan Tanah

By National Geographic Indonesia, Minggu, 6 Januari 2019 | 11:00 WIB
Aktivitas vulkanik di Gunung Anak Krakatau terus meningkat. Statusnya menjadi siaga (Level III). (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Kadar unsur hara makro yang diperlukan tananaman untuk tumbuh antara lain kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K) dan fosfor (P). Kalsium dari sampel Anak Krakatau lebih tinggi dibandingkan sampel lainnya mencapai 6,4%, Mg 5%, K 2% dan P 1%. Hal ini memberikan indikasi material Anak Krakatau lebih baru dibandingkan dengan yang lainnya. Tingginya kadar unsur hara makro esensial ini berarti kebutuhan tanaman tersedia secara alami dan tidak diperlukan penambahan dengan pupuk anorganik.

Kalsium dibutuhkan tanaman untk memicu reaksi pada titik-titik tumbuh tanaman seperti pada pucuk daun dan ujung akar. Jika tanaman kekurangan kalsium maka pertumbuhannya terhambat. Magnesium berperan dalam pembentukan zat hijau daun atau khlorofil dan sebagai aktivator beberapa enzim tanaman,

Sampel Anak Krakatau juga memiliki indeks pelapukan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan sampel dari Panjang, Rakata, dan Sibesi. Indeks pelapukan yang masih rendah memberikan indikasi proses pelapukan mineral primer masih pada tahap awal dan masih banyak cadangan unsur hara makro tersimpan pada tanah.

Baca Juga : Kisah Tragis Buthania, Gadis Cilik yang Menjadi Simbol Perang Yaman

Kadar karbon organik tertinggi didapatkan pada tanah dari Sibesi yang mencapai 4,28% diikuti sampel dari Rakata, Panjang dan Anak Krakatau yang paling sedikit hanya 0,14%. Tanah Sibesi yang mempunyai bahan organik tanah yang lebih tinggi berarti ketersediaan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman lebih banyak dibandingkan tanah di 3 pulau lainnya.

Kadar karbon organik ini berasal dari hasil pelapukan bahan organik seperti dari akar, dedaunan dan mikroorganisme yang ada di tanah. Kadar bahan organik akan bertambah seiring waktu dan meningkatnya proses suksesi tanaman.

Interaksi dari organisme yang ada di tanah akan meningkatkan kesuburan tanah. Material hasil erupsi merupakan material anorganik. Jika telah terjadi revegetasi (tumbuhnya tanaman lagi) di lapisan abu vulkanis, maka bertambah material organik pada material anorganik abu vulkanis yang dibutuhkan tanaman. Proses pengayakan unsur hara ini berlangsung secara bertahap.

Tanah di Kepuluauan Krakatau masih tergolong muda dan termasuk ordo Entisols jika menggunakan sistem Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff-USDA). Entisols merupakan tanah yang baru terbentuk dan hanya memiliki lapisan tanah atas berhumus yang tipis. Tekstur tanah masih kasar, didominasi butiran pasir, mempunyai kandungan glas vulkan yang tinggi (>30%). Ini berarti tanah mempunyai cadangan mineral primer yang tinggi dan ketika mineral primer melapuk akan dikeluarkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman.

Kolonisasi dan suksesi biota

Lalu, bagaimana corak vegetasi di kawasan gunung tersebut setelah berkali-kali disapu oleh lava dan awan panas yang membawa abu vulkanis? Terdapat perbedaan yang signifikan antara vegetasi yang dijumpai di Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang dari penelitian Tagawa dkk pada 1982. Neonauclea calycina (Bengkal Batu) mendominasi di Rakata.

Di Pulau Rakata ditemukan Timonius compressicaulis (pohon Binasi) dan Dysoxylum caulostachyum (pohon Kedoya) yang tidak ditemukan sebelumnya. Hasil penelitian para ahli zoologi dan botani E.R. Schmidt dan rekan-rekannya pada 1993 menunjukkan ada pertambahan satu sampai tiga spesies tanaman dari tahun 1982 yaitu 7 spesies di Rakata, di Sertung ada 3, di Panjang 4 (bertambah 3) dan di Anak Krakatau 4 (bertambah 3).

Kecuali Anak Krakatau, tiga pulau lainnya sudah didominasi oleh vegetasi hutan sekunder sedangkan Anak Krakatau masih berupa rerumputan dan Casuarina atau cemara laut.