Pentingnya Penanganan Dini Terhadap Ide Bunuh Diri pada Remaja

By National Geographic Indonesia, Kamis, 17 Januari 2019 | 11:24 WIB
Ilustrasi depresi pada pada remaja. (RyanKing999/Getty Images/iStockphoto)

Pemberian terapi kognitif perilaku bersama dengan pemberian obat antidepresan dilaporkan dapat memperbaiki gejala depresi sebesar 71% dalam waktu 12 minggu pertama. Dengan demikian, untuk remaja dengan depresi sedang dan berat, maka kombinasi ke dua intervensi tersebut merupakan pilihan utama.

Promosi dan prevelensi

Hal yang lebih penting adalah program yang mencegah terjadinya depresi itu sendiri, yaitu memperkuat faktor protektif, melindungi remaja agar tidak mudah menjadi depresi, serta menurunkan faktor risiko pada remaja. Tujuan program tersebut adalah mendukung remaja untuk memiliki kemampuan resiliensi yang lebih baik sehingga mereka mampu beradaptasi dan menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan saat ini yang kompleks dan penuh dengan persaingan.

Program Mental Health Gap Action Program (mhGAP) dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) merupakan suatu program berbasis bukti untuk profesional kesehatan non-spesialistik (seperti doktor umum dan guru bimbingan konseling) agar mereka dapat mengidentifikasi berbagai permasalahan kesehatan jiwa remaja. Program ini juga dapat digunakan untuk menentukan prioritas penanganan sesuai dengan kebutuhan.

Baca Juga : Mengapa Kertas Koran Bisa Menguning Seiring Berjalannya Waktu?

Depresi pada remaja merupakan suatu kondisi yang perlu dicermati karena angka kejadian yang cukup tinggi di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Penanganan kondisi tersebut memerlukan kerja sama yang komprehensif antara berbagai profesi kesehatan jiwa remaja seperti psikiater anak-remaja, psikolog klinis perkembangan, guru dan juga melibatkan orangtua.

Kita sangat berharap remaja dapat melalui fase depresi dengan cepat dan kembali beraktifitas sebagaimana remaja seusianya serta menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Tjhin Wiguna, Consultant, Department of Child and Adolescent Psychiatry, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.