Kesetiaan Wangsa Bonokeling, Teladan dari Sang Leluhur yang Misterius.

By Rahmad Azhar Hutomo, Minggu, 17 Februari 2019 | 08:00 WIB
Keturunan wangsa Bonokeling turun dari perahu sampan setelah menziarahi makam leluhur di Adiraja, Jawa Tengah dalam acara adat Mauludan. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Cerita dan Foto oleh Rahmad Azhar Hutomo

 

Nationalgeographic.co.id - "Tanpa ada perempuan, jagat kosong,” ujar Sumitro saat menceritakan asal-usul Bonokeling. Lelaki berkumis dan berjenggot tipis itu dipercaya sebagai ketua Kelompok Pelestari Adat Bonokeling sejak berdiri pada 2010.

Anak putu Bonokeling” menjadi sebutan bagi penganut ajaran ini. Perempuan, menurutnya, bagaikan ibu yang menciptakan kita, ibarat perwakilan dari Tuhan. Ajaran leluhurnya pun mengajarkan untuk menjunjung tinggi kedudukan wanita.

Pagi-pagi sekali, saya bersiap dengan memakai iket, beskap warna hitam, dan kain jarik. Inilah hari pertama Upacara Mauludan, peringatan kelahiran Nabi Muhammad, yang akan berlangsung selama tiga hari pada Desember silam.

Setiap warga diwajibkan memakai pakaian tradisional. Kaum pria memakai iket atau blangkon yang dikenakan di kepala, beskap berwarna hitam, dan jarik yang membalut tubuh bagian bawah. Sementara, kaum wanita berbusana kebaya batik dan selendang putih, yang selalu melekat di bahu mereka.

Dari Desa Pekuncen, Jatilawang, di Kabupaten Banyumas, mereka berjalan beriringan membawa hasil bumi—beras, bawang, kelapa, cabai, dan sayuran lainnya—untuk kerabat mereka di Desa Adiraja, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. Jaraknya sekitar 20 kilometer.

Baca Juga : Suku Anak Dalam Batin Sembilan: Lebih Terbuka dan Memiliki Harapan

Berjalan kaki menjadi suatu kewajiban bagi penganut ajaran Bonokeling kala mengikuti Mauludan. Jarak puluhan kilometer bukan penghalang bagi mereka. (Rahmad Azhar Hutomo)

Sebelum rombongan berangkat, Sumitro mengingatkan kepada kaum wanita yang sedang datang bulan untuk beristirahat di rumah. “Ibu-ibu yang masih usia subur, semisal dayohe teko jangan dilanjutkan,” seru Sumitro. “Harus tetep istirahat di pondok.”

Setelah semua hadir, mereka meminta restu dan doa keselamatan ke setiap bedogol atau kasepuhan. Mereka berjalan kaki melintasi bantaran sawah yang hijau dengan pemandangan Sungai Serayu yang mengular. Nun jauh, tampak perbukitan berselimut kabut menjadi latarnya. Mereka berjalan kaki tanpa memakai alas kaki.

Di Adiraja, anak putu Bonokeling menyembelih seekor kerbau sembari menunggu kerabat datang dari Pekuncen. Daging kerbau, kambing, dan ayam yang telah dimasak akan disantap bersama pada acara Tumpengan. (Rahmad Azhar Hutomo)

Saya terengah-engah mengikuti gerak kaki para ibu yang mengikuti ritus adat ini. Saya terkagum akan kelincahannya. Usia mereka sudah tak muda lagi, namun mereka begitu antusias. Sesekali mereka melontarkan senyuman saat berpapasan dengan para pengguna jalan.

Mereka akan beristirahat sekali di Pasar Kesugihan, Kroya. Kemudian, saat tiba di Pasar Maos, Kabupaten Cilacap, mereka disambut oleh anak putu Bonokeling yang tinggal di Desa Adiraja. Para penyambut lalu bergantian memikul hasil bumi yang dibawa dari Pekuncen.

Saat menanti kerabat yang datang dari Pekuncen, kerabat di Adiraja mempersiapkan hidangan bersantap bersama. Mereka menyembelih dua ekor kerbau dan 50 ekor kambing. Seketika saya merasakan suasana Idul Adha karena setiap akan memotong hewan selalu dilantunkan ucapan takbir.

Mauludan merupakan salah satu perayaan acara adat yang cukup meriah, tentunya diselenggarakan pada bulan Maulud. Diadakan guna memperingati hari lahirnya nabi Muhammad SAW. (Rahmad Azhar Hutomo)

Langkah saya begitu memburu. Hari ini adalah hari kedua perayaan Maulid. Warga telah bersiap untuk sungkem bekten ke petilasan Mbah Depok Kendran di Desa Adiraja.

Mujurlah, acara belum bermula saat saya datang. Kaum perempuan tengah membasuh diri di air Pesucenan. Dengan berbaris, satu per satu mereka membasuh muka dan berwudu sembari berdoa. Saya menjumpai beberapa warga yang membawa pulang air dari Pesucen. Konon, air ini dipercaya membawa kesehatan bagi yang meminumnya, membawa kesuburan jika ditebar di sawah, hingga membawa keselamatan bagi yang menyimpannya.

“Nguri-nguri kabudayan jawi,” ujar Wangsa Candra kepada saya. Wajahnya selalu semringah. Dia mempersilakan saya untuk duduk bersila di sebelahnya. Warganya senantiasa rukun karena saling menghargai perbedaan. Bahkan, sampai detik ini belum pernah terjadi perselisihan karena beda keyakinan. “Kerukunan di sini sangat erat, saling menghargai perbedaan,” ujarnya dengan mantap.

Ajaran Bonokeling merupakan ajaran peninggalan leluhur Eyang Bonokeling. Konon, Bonokeling merupakan seorang patih di kerajaan Pasirluhur. (Rahmad Azhar Hutomo)

Saya menoleh ke belakang. Kaum wanita sedang menggelar upacara pembersihan petilasan dengan hanya menggunakan tangan. Mereka memunguti lumut yang berada di atas petilasan. Petilasan ini berbentuk hamparan batu berlumut, yang di tengahnya ditumbuhi satu tanaman melati.

Saya berjumpa dengan Adhit, seorang pemuda belasan tahun yang menggemari fotografi dan menjadi pengikut ajaran Bonokeling. “Gawe ati ayem, tenang,” ungkap pemuda ini, tentang perasaan ketika mengikuti ajaran Bonokeling.

Saya melihatnya sebagai pemuda yang memiliki pandangan ke depan tentang ajaran Bonokeling. Ia berpesan kepada saya bahwa peninggalan leluhur selayaknya dilestarikan, bukan justru ditinggalkan.

Asal-usul Bonokeling memiliki beberapa versi dikarenakan tak semua ajaran Bonokeling terbuka untuk orang umum. (Rahmad Azhar Hutomo)

Acara puncak segera dimulai. Semua anak putu Bonokeling saling bersungkeman, saling mendoakan, dan saling bersilaturahmi. Mereka berduduk bersila dan kedua tangan saling dipertemukan. Saya kagum, tak ada satu pun yang saling berebut giliran. Tentunya, wanita lebih diutamakan.

Matahari sore melingsir ke kaki langit. Semua warga, dari anak-anak sampai orang tua berbusana tradisional. Sungguh pemandangan yang langka bagi saya di zaman serba digital ini.

Di jantung desa, wangsa Bonokeling sudah duduk sembari menghadap berjejer nasi tumpeng. Kabar gembiranya, siapa pun boleh ikut bergabung mencicipi hidangan tumpeng, termasuk saya.

“Ya, perasaan karena sejak kecil kayak gini ya rasanya ya tenang-tenang saja ayem tentrem, karena menjalani dalam sesuatunya harus yakin karena kita cari bekal untuk dunia akhirat”, ujar Sumitro mengikuti ajaran Bonokeling. Sumitro dikenal sebagai tokoh adat dan juga Ketua Kelompok Masyarakat (Pokma (Rahmad Azhar Hutomo)

Maem ndisit mengko bubar lho, Mas!” ujar seorang ibu yang menawarkan tumpengnya karena khawatir saya akan kehabisan. Tumpeng Mauludan itu berjumlah lebih dari 4.000!

Saya melihat dengan saksama bentuk tumpeng yang sangat unik. Tampak seekor ayam bekakak yang menyerupai orang bersila dengan kepala yang menunduk. Menurut warga, filosofi itu menggambarkan Kanjeng Nabi Muhammad yang bertapa di dalam gua. Alhasil, saya menjadi tak tega untuk melahapnya.

Memasuki petilasan Mbah Depok Kendran anak putu Bonokeling diwajibkan menggunakan pakaian adat. Kaum wanita berbusana kebaya batik dan selendang putih. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Kemeriahan tumpengan sore itu seolah menutupi rintangan berat bagi wangsa Bonokeling yang bertradisi agraris. Sedikit demi sedikit ajaran mereka mulai terkikis. Dahulu, mereka hanya bekerja sebagai petani dan peternak. Kini, mereka meraih pendidikan tinggi dan bekerja dalam beragam profesi—padahal tradisi yang diwariskan Bonokeling hanya bertani.

Seorang wanita penganut ajaran Bonokeling melakukan sungkem di petilasan Mbah Depok Kendran. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Baca Juga : Ketika Pemuda Menjadi Penjaga Budaya Asmat di distrik Agats

Siapakah gerangan Eyang Bonokeling? Asal-usul Bonokeling sejatinya masih misterius hingga kini. Saya mencari informasi dari beberapa sesepuh Bonokeling. Pada kenyataannya memang tidak ada sejarah yang mencatatnya. Tampaknya mereka meyakini bahwa merahasiakan jati diri ajaran Bonokeling merupakan salah satu upaya melestarikan warisan budaya ini. Menurut Sumitro, Bonokeling adalah nama salah seorang patih di Kerajaan Pasirluhur. Namun, entahlah, selebihnya dia tak bisa menjelaskan terperinci kepada saya.

Tumpengan adalah acara puncak , siapa pun boleh ikut serta untuk menyantap hidangan tumpengan yang tahun lalu berjumlah lebih dari empat ribu tumpengan. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Eyang Bonokeling diyakini sebagai cikal-bakal leluhur yang menurunkan seluruh ajaran kepada anak cucunya. Sosoknya sangat dipercaya memiliki ilmu kebatinan tinggi, yang dapat digunakan sebagai jalan bagi keturunannya untuk menggapai keselamatan dunia dan akhirat.

Walaupun hujan deras mengguyur, penganut ajaran Bonokeling tetap melanjutkan perjalanan sejauh puluhan kilometer menuju ke rumah. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

“Ya harapan yang diutamakan di sini langgeng dan lestari,” ujar Sumitro dengan mata berbinar ketika saya tanya tentang masa depan Bonokeling. Dia berdoa agar keyakinan yang diwariskan leluhurnya senantiasa kekal hingga akhir zaman.