Tempat Terbaik Bagi Warga Kulit Hitam Afrika Amerika

By Rahmad Azhar Hutomo, Kamis, 21 Februari 2019 | 10:25 WIB
Alumni organisasi sosial Alpha Phi Alpha di Clark Atlanta University menyambut anggota baru (kiri) organisasi huruf Yunani tertua untuk kaum Amerika Afrika, yang dianggotai oleh Frederick Douglass, W.E.B. Du Bois, dan Martin Luther King, Jr. (Nina Robinson)

“Mereka menganggap saya seperti hippie,” katanya, “karena saya berbicara soal peririsan, soal mengubah narasi kulit hitam, bahwa kami adalah kelompok manusia tertindas, soal feminisme dan perbedaannya dengan womanisme, serta soal ketidaksetaraan patriarkat.”

Tidak seperti Jackson, Dixon berkomitmen untuk mengubah keadaan dari dalam lembaga yang ada. Dia terpilih sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Spelman, dan dia menerapkan berbagai prakarsa yang mencerminkan kesadaran politiknya. Dia bekerja sama dengan berbagai organisasi lokal untuk melawan gentrifikasi di lingkungan di dekat kampus, memperjuangkan penambahan layanan bagi korban serangan seksual, mempromosikan pendidikan pemilih dan acara pendaftaran pemilih, dan mengingatkan betapa perempuan kulit hitam sering diabaikan dalam percakapan nasional tentang kekerasan polisi. Sekarang Dixon bekerja di bidang pemasaran di New York dan berharap dapat terus memperjuangkan masalah keadilan sosial.

Mahasiswa di Clark Atlanta University sedang mengerjakan tugas kimia. Universitas kulit hitam historis mencapai setengah dari 50 universitas teratas yang menghasilkan mahasiswa kulit hitam yang kemudian meraih gelar pascasarjana di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika. (Nina Robinson )

Spelman didirikan dengan misi melayani perempuan kulit hitam. Tetapi, definisi gender yang senantiasa berubah telah mendorong universitas itu, dan banyak universitas khusus putra/putri lainnya di seluruh negeri, mempertimbangkan kembali kriteria penerimaan mahasiswa tanpa mengkhianati nilai-nilai mereka. Sebagian mahasiswa dan alumni mau menyesuaikan diri dengan garis gender yang semakin kabur, tetapi sebagian lagi cemas bahwa hal itu berisiko merusak tradisi universitas itu. Setelah perdebatan berbulan-bulan yang mempertimbangkan penelitian bertahun-tahun maupun masukan dari mahasiswa, alumni, dan administrasi, Spelman mengumumkan September lalu akan menerima orang yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan menjalani hidup sebagai perempuan pada saat mendaftar, dan akan mengizinkan mahasiswa yang bertransisi dari perempuan ke lelaki semasa kuliah di Spelman untuk tetap kuliah dan lulus di sana.

Janae’ Sumter, mahasiswa tingkat empat dari New Orleans, berkata bahwa Spelman “jelas telah berevolusi” dalam masalah LGBTQ. Ketika saya bertemu dengan Sumter, dia mengenakan topi jambon yang bertengger miring di kepalanya. Dreadlock merah yang tebal dan ikal kecil-kecil jatuh ke bahunya, dan kacamata bundar dan jernih bertengger di batang hidungnya. Seniman dan penata komunitas, Sumter adalah salah satu ketua Afrekete, organisasi LGBTQ di kampus.

Mahasiswa baru Morehouse mendesain kaus yang menyoroti masalah serangan seksual di kampus. Dekan baru Morehouse, David A. Thomas, berikrar untuk mengambil posisi tegas, berkata, “Morehouse memiliki kebijakan toleransi-nol terhadap serangan seksual dan pelecehan seksual.” (Radcliffe “ruddy” Roye)

“Saya masih ingat saat tingkat pertama,” katanya. “Kami mengadakan Pride Week dan melakukan chalking [menulis kata-kata pendukung di trotoar] dan merayakan, dan ada… beberapa kelompok mahasiswa [yang] menulis ayat suci di bawahnya.” Implikasinya adalah bahwa menjadi orang homoseksual itu bertentangan dengan agama Kristen, pemikiran yang ditolak Sumter.

Sumter dan teman-temannya mendorong pihak universitas agar lebih responsif: “Sikap orang sudah mulai berubah. Orang kini mencoba memahami.”

Sumter bercerita bahwa dia juga penyintas serangan seksual, masalah yang semakin mendesak di Spelman dan kampus-kampus lain di seluruh AS. Melalui karya seni dan aktivismenya, dia berusaha menarik perhatian pada topik ini. Dalam “Monolog Melela” yang diadakan Afrekete, Sumter bercerita tentang perjalanan pribadinya. “Itulah pertama kalinya saya bercerita kepada publik atau kepada diri sendiri. Saya rasa dari saat itulah saya menyadari betapa pengalaman itu memerdekakan batin.” Evolusi politik Sumter yang berkaitan dengan ras dan gender terjadi beriringan dengan evolusi dirinya. “Saya senang cara saya mencintai diri. Saat mulai kuliah, saya tidak seperti itu. Saya tidak tahu cara mencintai diri. Saya tidak tahu apa artinya. Saya belajar merasa berani di semua tempat.”

Akhir tahun lalu, beberapa bulan setelah saya berbicara dengan Sumter, kampanye #MeToo melanda negeri, menciptakan perhitungan budaya soal serangan dan pelecehan seksual di dunia politik, media, dan hiburan. Lembaga akademis tidak terkecuali. Brosur beredar di Spelman dan Morehouse yang mengkritik tanggapan pihak universitas terhadap serangan seksual, dan pesan grafiti kecaman muncul di sisi kapel Morehouse: “Amalkan Isi Khotbahmu Morehouse + Basmi Budaya Perkosaan.”

Sarjana Morehouse musim semi 2017, Avery Jackson, berdiri di depan potret para pemimpin global yang tergantung di International Hall of Honor di King Chapel. (Radcliffe “ruddy” Roye)

Rektor Spelman, Mary Schmidt Campbell, mengakui bahwa Morehouse dan Spelman harus membenahi caranya menangani korban, tetapi juga meyakini bahwa upaya mahasiswa menyoroti serangan seksual adalah bagian dari tradisi panjang aktivisme feminis yang berfokus pada ras dan gender.