Baca Juga : Senyawa Plastik Ditemukan Pada Telur Burung di Pedalaman Arktika
Jackson adalah salah satu mahasiswa yang membentuk organisasi AUC Shut It Down, yang memiliki pendekatan lebih radikal untuk menentang rasialisme sistemis. Organisasi itu berunjuk rasa ketika Hillary Clinton berkunjung ke Morehouse pada 2015 dalam kampanye pilpres karena mereka tidak yakin Clinton akan mewakili kepentingan politik mereka dengan baik, dan mereka khususnya cemas bahwa seseorang yang pernah menyiratkan bahwa geng pemuda kulit hitam adalah “pemangsa super” kini ingin menjadi presiden Amerika Serikat.
Unjuk rasa itu menyebabkan aktivis hak sipil lama dan anggota kongres John Lewis, yang dapilnya termasuk universitas-universitas AUC, memohon kepada mahasiswa agar memperbolehkan Clinton berbicara. AUC Shut It Down—seperti banyak kelompok aktivis muda yang bangkit setelah pada 2014 terjadi lagi pembunuhan remaja kulit hitam tak bersenjata, Michael Brown, oleh polisi di Ferguson, Missouri—memiliki kerangka kerja yang beririsan: Organisasi itu bertujuan mengatasi masalah ras, gender, dan orientasi seksual secara bersamaan, tidak terpisah-pisah.
Universitas kulit hitam historis mungkin dikira tidak beragam karena sebagian besar mahasiswanya bagian dari diaspora Afrika. Akan tetapi, di kampus-kampusnya banyak terdapat mahasiswa dengan latar sosial berbeda, kecenderungan politik berlawanan, dan pandangan beragam tentang bentuk kemajuan dan aktivisme.
Ada mahasiswa seperti Imani Dixon, mahasiswa Spelman tingkat empat ketika saya pertama bertemu dengannya, dari Charlotte, North Carolina. Dixon duduk di hadapan saya, dengan rambut keriting alami yang mencapai bahu.
Baca Juga : Sulit Lepas Dari Kecanduan Merokok? Makanan Ini Bisa Jadi Solusinya
Semasa kecil, Dixon masuk ke sekolah ras campur, tetapi salah satu dari sedikit murid kulit hitam di kelas tingkat lanjut. Sebagian besar murid terbaik dari SMA-nya melanjutkan ke University of North Carolina di Chapel Hill atau North Carolina State di Raleigh, tetapi Dixon menyadari dirinya ingin berada di tempat yang mengingatkannya setiap hari bahwa orang kulit hitam, jika diberi kesempatan dan sumber daya, mampu sukses. “Jadi, itulah alasan utama saya memilih Spelman.” Ibu Dixon, Kendra Johnson, berkata bahwa putrinya itu “langsung bersemangat tentang makna universitas itu baginya, serta pengaruh universitas itu baginya dan bagi perkembangan dirinya sebagai pemudi Amerika-Afrika.”
Andai dia memilih universitas di negara bagiannya sendiri, Dixon—salah satu murid terbaik di SMA-nya—mungkin hanya perlu membayar sedikit untuk kuliah. Sebaliknya, Spelman tidak menyediakan banyak bantuan uang kuliah, tetapi Johnson bertekad mencari uang untuk membiayai kuliah putrinya, meminjam ke bank dengan namanya sendiri, bukan dengan nama Dixon. “Kuliah di sana cukup penting baginya,” kata Johnson. Spelman “adalah tempat yang saya yakini tepat baginya.”
Dixon berkata bahwa di Spelman, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia dapat berbincang tentang sejarah feminisme kulit hitam sambil mendengar lagu Drake terbaru. “Saya ingin terlibat dalam percakapan seperti itu, percakapan yang menggairahkan”—dia menggoyang bahu dan tertawa—“tetapi tetap bisa berpesta dengan teman-teman,” katanya.
Kuliah di universitas yang berkomitmen kuat pada sejarah kulit hitam di masa yang gejolak sosial rasialisnya begitu besar, membuat Dixon lebih sadar dan terlibat secara politis. Mata kuliah seperti Diaspora Afrika dan Dunia—mata kuliah wajib di Spelman, yang diskusi kelasnya menempatkan kekerasan polisi, sistem peradilan pidana, dan kemiskinan kulit hitam dalam konteks sejarah—mengubah pandangannya dalam cara yang tidak selalu dipahami teman-temannya di kampung halaman.
Baca Juga : Foto-foto Gereja Ayam, Rumah Doa yang Sebenarnya Bernama Bukit Rhema