Tempat Terbaik Bagi Warga Kulit Hitam Afrika Amerika

By Rahmad Azhar Hutomo, Kamis, 21 Februari 2019 | 10:25 WIB
Alumni organisasi sosial Alpha Phi Alpha di Clark Atlanta University menyambut anggota baru (kiri) organisasi huruf Yunani tertua untuk kaum Amerika Afrika, yang dianggotai oleh Frederick Douglass, W.E.B. Du Bois, dan Martin Luther King, Jr. (Nina Robinson)

“Selalu ada orang-orang yang mau mengubah keadaan di Spelman dalam perjalanan mereka mengubah keadaan di budaya yang lebih umum,” katanya. “Ini bukan aktivitas baru bagi Spelman College. Kaum perempuan Spelman sudah bergenerasi-generasi berada di garis depan aktivisme sosial yang memperjuangkan perubahan.”

Aktivisme di Spelman dan Morehouse juga telah merembes ke tempat-tempat yang tadinya tidak berkaitan. Sebagaimana beberapa perlambangan acara seperti Market Friday menyorot rasa kebanggaan ras yang baru, acara lainnya di kampus juga menegaskan solidaritas yang hanya ada di HBCU.

Mahasiswi Spelman yaitu Mecca McFadden, Kalin Tate, dan Safiyyah Logan berjam-jam membuat pakaian untuk pesta toga akhir tahun persaudaraan Alpha Phi Alpha cabang Morehouse. (Nina Robinson )

Dalam kontes kecantikan tahunan Miss Maroon and White, yang disponsori oleh Morehouse, kaum perempuan dari Spelman College dan Clark Atlanta University ikut serta dalam lomba-lomba yang dimaksudkan menampilkan kecantikan, rasa tanggung jawab sosial, dan kecerdasan. Menonton kontes itu merupakan pengalaman disonansi kognitif. Dalam banyak segi, kontes kecantikan merupakan pameran patriarkat kuno yang melestarikan norma gender yang semestinya memicu percakapan lebih luas tentang perilaku tidak senonoh. Namun, kontes ini seperti disuntik semangat baru, sebagai bagian pertunjukan politik.

Di luar panggung, sebuah foto menampilkan lima kontestan, berwajah kaku dan memakai topi baret hitam, penghormatan pada topi yang dipakai anggota Black Panther Party pada 1960-an dan 70-an—organisasi yang sikap politiknya menjauhi non-kekerasan dan mendekati bela diri radikal terhadap kekerasan polisi dan kekerasan negara.

Lampu diredupkan, dan para mahasiswa—banyak di antaranya mengenakan topeng gas—berlari di lorong teater, melompat ke panggung sebelum memulai tarian yang bertenaga dan memikat. Para kontestan, yang mengenakan jaket kulit hitam, naik ke panggung diiringi lagu Michael Jackson “They Don’t Care About Us.” “Kalahkan aku, benci aku. Kau takkan bisa mematahkanku,” bunyi liriknya. “Paksa aku, getarkan aku. Kau takkan bisa membunuhku.” Foto unjuk rasa diproyeksikan ke layar, dengan latar tembok penuh grafiti. Setiap kontestan memperkenalkan diri kepada penonton, menggambarkan dirinya dan mengapa dia layak dilantik sebagai Miss Maroon and White. Setiap pidato mereka mengandung penghargaan bagi kaum lelaki Morehouse yang kepastian keberadaannya terasa terancam di negara itu. “Saudaraku, jangan lelah dalam keadaan ini, kaum kulit hitam akan berhasil dalam perjuangan berbahaya ini,” kata seorang pemudi saat membuka acara dengan puisi.

Austin Fleury (kiri) dan Trent Gilliam, anggota organisasi sosial Omega Psi Phi di Morehouse, menikmati rasa persaudaraan di pesta toga. (Radcliffe “ruddy” Roye)

Auditorium itu dipenuhi oleh beragam mahasiswa: atlet dengan seragam olahraga, fashionista dengan busana paling gres, aktivis anti-kapitalisme dengan rambut Afro yang mengikal ke langit, dan mahasiswa yang magang di Wall Street pada musim panas. Banyak di antara mereka, seperti mahasiswa tingkat tiga Morehouse bernama Chad Rhym, dulu tidak tahu bahwa ada kemajemukan semacam itu dalam kelompok yang sering ditampilkan berbudaya seragam. “Saya masuk ke Morehouse, dan saya melihat berbagai komunitas ini,” kata Rhym. 

Di banyak HBCU, mahasiswa sampai ke suatu tempat yang tidak mengharuskan mereka memilih bagian diri tertentu saja untuk ditunjukkan kepada dunia. Di tempat itu mereka bisa berbeda-beda, mereka bisa menjadi utuh.

Rhym jelas merasa bebannya hilang ketika mulai kuliah di Morehouse, yang memberinya ruang untuk menjelajah. SMA-nya di Athens, Georgia, didominasi murid kulit hitam, tetapi kelas tingkat lanjutnya, seperti yang dialami Dixon, hampir seluruh muridnya kulit putih. “Saya merasa,” katanya sambil berhenti sejenak dan melihat ke atas, seolah menunggu pikiran itu terkristalkan, “apakah saya punya tempat di sini? Orang kulit putih sering berbicara soal ‘tindakan afirmatif,’ seakan-akan kami sebenarnya tidak punya tempat. Jadi, kuliah di Morehouse merupakan suntikan rasa percaya diri yang besar, bahwa saya memang layak mendapat tempat di sini.”

Baca Juga : FOTO: Penyetopan Warga Kulit Hitam di Amerika

Kadang rasialisme yang dialaminya tidak sebatas komentar tindakan afirmatif. “Saya pernah disebut ‘nigger,’” katanya, menggeleng kepala. “Jadi, saat berada di tengah kumpulan orang kulit hitam, rasanya seperti, oh, kami semua tahu apa yang pernah kami alami. Kami semua tahu rintangan apa yang kami hadapi.”