Kisah Suku Nenet yang Hidup Di Tepi Dunia dan Terancam Perubahan Iklim

By Rahmad Azhar Hutomo, Kamis, 21 Maret 2019 | 08:00 WIB
Nyadma Khudi, penggembala Nenet, memandu rusa kutub melewati bawah jalur pipa di ladang gas Bovanenkovo di Semenanjung Yamal, Siberia. Ketika jalur pipa gas masih baru, rusa-rusa itu enggan mendekat. Kini, mereka mengikuti tanpa ragu untuk mencapai padang rumput musim panas di utara. (Evgenia Arbugaeva)

Saat ini, ketangguhan mereka tengah diuji dengan cara baru. Cuaca yang oleh para ilmuwan disebut “hujan di salju,” akan lebih kerap terjadi dengan lebih intens di Arktika selama iklim menghangat.

Ketika saya berbicara dengan Yuri, wilayah ini sedang mengalami musim panas yang tercatat dalam rekor; termometer menunjukkan angka 34 derajat celsius. Sudah berminggu-minggu hujan tidak turun, menyulitkan rusa kutub menarik papan luncur bermuatan, melintasi tundra kering.

Sebelum musim panas berakhir, seorang anak lelaki dan lebih dari 2.300 ekor rusa di selatan Yamal terancam binasa akibat anthrax—akibat pelelehan permafrost, es abadi di dalam tanah—yang menyebabkan kemunculan bangkai binatang yang dikubur selama wabah pada 1940-an, yang menyimpan mikroba penular penyakit.

Kendati begitu, bukan perubahan iklimlah yang menjadi ancaman terbesar bagi suku Nenet. Melainkan, pembangunan. Saat ini pencarian Rusia terhadap sumber-sumber hidrokarbon baru telah merambah padang-padang rumput yang sudah terasa padat bagi kira-kira 255.000 ekor rusa kutub dan 6.000 orang penggembala nomaden di Yamal. Ini juga menghambat migrasi yang penting bagi sebagian kawanan rusa.

Keluarga Puiko menikmati makan siang sup ikan putih di dalam chum, atau tenda. Saat musim panas, orang Nenet bergantung pada ikan di danau atau sungai sepanjang jalur, naik turun melintasi Semenanjung Yamal. Saat musim dingin, mereka memakan daging rusa kutub. (Evgenia Arbugaeva)

Ladang gas Bovanenkovo, yang terbesar di Yamal, terletak tepat di tengah jalur Brigade 4. Kawanan rusa harus melintasi ladang, dengan jalan-jalan raya dan jalur-jalur pipanya, untuk mencapai padang rumput musim panas.

Suku Nenet senantiasa hidup di pinggiran; dalam bahasa mereka, Yamal berarti “tepi dunia.” Namun akhir-akhir ini, sebagian dari mereka bahkan nyaris terjatuh.

Bertengger di sisi kiri kereta luncur, dengan kaki menginjak mantap pijakan, Nyadma Khudi melecut lembut punggung rusanya dengan tyur—tongkat kayu halus panjang bergagang tanduk rusa. Dia memacu empat rusa jantan yang menarik kereta luncur. Nyadma adalah kakak Yuri dan mantan kepala brigade. Konvoinya yang terdiri atas beberapa kereta luncur berada di depan ketika Brigade 4 menuju Bovanenkovo.

Terlindung dengan baik dari nyamuk musim panas, kedua sepupu Kristina (kiri) dan Vera (kanan) Khudi menunggang “naga perak” jalur pipa yang menyalurkan gas alam dari sumur-sumur di Bovanenkovo. Para penggembala melewati banyak jalur pipa dalam migrasi tahunan mereka. (Evgenia Arbugaeva)

Nyadma mendadak berhenti. “Kita akan beristirahat sejenak di sini, agar semua bisa menyusul,” ujarnya sambil merogoh mengambil ponsel yang berdering dari dalam mantel kulit rusa kutubnya. Kereta-kereta luncur lainnya berhenti. Ketukan kaki rusa segera digantikan oleh nada sambung dan obrolan manusia selagi orang-orang Nenet menikmati salah satu keuntungan: Saat ini kami telah berada dalam jangkauan menara telepon seluler Bovanenkovo.

Pendar merah matahari malam menyelimuti danau dan jalur air di depan kami. Gemuruh di kejauhan, seperti pesawat jet yang hendak tinggal landas, menarik perhatian saya; asalnya dari ladang gas, berkilo-kilometer di depan.

()