Kisah Suku Nenet yang Hidup Di Tepi Dunia dan Terancam Perubahan Iklim

By Rahmad Azhar Hutomo, Kamis, 21 Maret 2019 | 08:00 WIB
Nyadma Khudi, penggembala Nenet, memandu rusa kutub melewati bawah jalur pipa di ladang gas Bovanenkovo di Semenanjung Yamal, Siberia. Ketika jalur pipa gas masih baru, rusa-rusa itu enggan mendekat. Kini, mereka mengikuti tanpa ragu untuk mencapai padang rumput musim panas di utara. (Evgenia Arbugaeva)

Gas alam Yamal adalah strategi utama pemenuhan energi Rusia—sumber baru yang akan menggantikan ladang-ladang yang telah berkurang produksinya di selatan dan timur—dan Bovanenkovo adalah tulang punggung Yamal. Ladang gas ini dikelola oleh Gazprom, perusahaan milik negara yang memproduksi sebagian besar gas alam Rusia dan menyuplai lebih dari sepertiga impor Uni Eropa. Menurut Alexey Miller, CEO Gazprom, Yamal mampu menghasilkan 360 miliar meter kubik gas per tahun hingga 2030—lebih dari sepertiga perkiraan total produksi Rusia.

Bovanenkovo sendiri telah memastikan persediaan gas sebanyak 5 triliun meter kubik. Dihubungkan dengan daratan Asia oleh bandara dan jalur kereta sepanjang 572 kilometer, dan dengan petak gas Rusia oleh dua jalur pipa sepanjang 1.200 kilometer, Bovanenkovo juga menjadi landasan ekspansi Gazprom ke Arktika Rusia.

Pemanasan global menjadi hambatan terbesar agenda ambisius itu. Alexey Osokin adalah deputi direktur pusat rekayasa Gazprom, yang telah 25 tahun mengumpulkan dan menganalisis data cuaca dan permafrost dari pusat meteorologi dan sumur gas di Semenanjung Yamal. “Bisa dipastikan bahwa iklim memang semakin panas,” ujarnya.

Saat musim panas, pelelehan permafrost mengganggu stabilitas struktur Gazprom.

Dua saudari Vera dan Sophia Khudi (berjalan) menerima penyambutan “karpet putih” dari Gazprom, perusahaan yang mengoperasikan Bovanenkovo, selagi kawanan rusa melintasi ladang gas. Kain geotekstil digelar agar rusa kutub lebih mudah menarik kereta luncur menyeberangi jalan raya. (Evgenia Arbugaeva)

Sebagian dampak pelelehan permafrost sulit dihadapi. Pada musim panas 2014, sebuah kawah, selebar 40 meter dan dalam 35 meter, tiba-tiba terbentuk di tundra, di tenggara Bovanenkovo. Para ahli menyalahkan erupsi gas metana yang terperangkap di bawah tanah beku. Mereka mengkhawatirkan kemungkinan erupsi serupa terjadi di ladang gas, yang sangat membahayakan. Pada musim panas 2017, dua erupsi lagi dilaporkan terjadi di semenanjung. Salah satunya di dekat perkemahan seorang penggembala.

Brigade 4 memiliki tenggat: satu hari dan satu jam, berdasarkan perjanjian dengan Gazprom, untuk menyeberangi jalan tersibuk melintasi Bovanenkovo. Kami akhirnya mencapai tempat penyeberangan. Truk-truk besar lalu-lalang setiap menit. Menyeberang bisa berbahaya bagi rusa maupun penggembalanya.

Selagi Brigade 4 membongkar tenda dan bersiap-siap untuk berpindah ke padang rumput baru, Natalia Puiko, 18, merentangkan tali bersama para wanita lainnya untuk mengumpulkan rusa-rusa kutub. Para pria akan memilih rusa dari kawanan, untuk menarik kereta luncur. (Evgenia Arbugaeva)

Kata Galina Mataras, direktur organisasi nonpemerintah yang mewakili penggembala Nenet, “dibutuhkan waktu dan upaya besar untuk memastikan penyeberangan berlangsung cepat dan aman.”

Pada jam yang sudah ditentukan, lalu lintas dihentikan dan kain geotekstil putih besar dibentangkan di jalan. Kain itu mempermudah gerakan kereta luncur saat melewati jalan beton.

Bagi Gazprom, urusan “karpet putih” ini menjadi kesempatan berfoto tahunan. Sebuah helikopter diterbangkan dari Salekhard. Saat konvoi rusa mulai menyeberang, Gazprom dan pers mendokumentasikan kegiatan ini.

“Selesai!” Nyadma mengumumkan setelah kami semua menyeberangi jalan. “Tidak ada jalan ataupun jalur pipa lagi. Kita tidak perlu buru-buru melanjutkan perjalanan dan membongkar tenda setiap malam lagi. Kita bisa mengisi waktu dengan memancing.