Kisah Suku Nenet yang Hidup Di Tepi Dunia dan Terancam Perubahan Iklim

By Rahmad Azhar Hutomo, Kamis, 21 Maret 2019 | 08:00 WIB
Nyadma Khudi, penggembala Nenet, memandu rusa kutub melewati bawah jalur pipa di ladang gas Bovanenkovo di Semenanjung Yamal, Siberia. Ketika jalur pipa gas masih baru, rusa-rusa itu enggan mendekat. Kini, mereka mengikuti tanpa ragu untuk mencapai padang rumput musim panas di utara. (Evgenia Arbugaeva)

“Ini tidak mudah, ketika Gazprom hadir,” lanjutnya. Pada tahun-tahun awal Bovanenkovo, setelah pembangunan dimulai pada 1980-an, rel kereta api, jalur pipa, jalan raya, tambang pasir, dan bangunan bermunculan di mana-mana.

“Kami merasa terperangkap, seolah-olah tidak ada lagi tempat untuk kami di tanah leluhur kami sendiri,” kata Nyadma.

“Kami paham, negara membutuhkan gas alam. Begitu pembangunan utama selesai, kami mencari jalan mengitari kekacauan ini. Kami bisa menerimanya.” Dia terdiam. “Selama mereka tidak membangun lebih banyak jalan raya ataupun jalur pipa lagi.”

Daging rusa kutub kaya akan mikronutrisi, mineral, dan vitamin, dan menjadi makanan pokok orang Nenet. Ketika mereka menyembelih seekor binatang, mereka memakan dagingnya mentah-mentah, selagi masih hangat. Namun, selama penyebaran wabah anthrax di selatan Yamal pada 2016, mereka menghentikan praktik itu. (Evgenia Arbugaeva)

Satu jam kemudian, kami berhenti di sebuah bukit. Nyadma memicingkan mata, mengamati jalur di depan kami. Di kejauhan, seruas jalan tanah baru tampak membelah tundra.

Nantinya kami menemukan jalur penghubung baru yang terbentang sejajar dengan jalan; menghubungkan sebuah sumur gas ke kompresor, membelah perkemahan selanjutnya. Suku Nenet tidak pernah menerima laporan pembangunannya. Jalan dan pipa itu tidak seharusnya ada di sini, kata Nyadma. 

Di perkemahan, di antara jalan dan jalur pipa, saya menemukan sumber bunyi gemuruh yang saya dengar beberapa hari sebelumnya. Kini, hanya beberapa meter dari sana, sebuah bola api merah terbatuk dari pipa penuh jelaga—pembakaran gas yang berfungsi untuk melepas kelebihan tekanan dari jalur pipa.

Di udara yang bergolak di sekitar api, tundra, air, dan langit pun membaur ke dalam semburat cokelat, hijau, dan biru. Gemuruh digantikan oleh raungan nyaring yang menenggelamkan bunyi-bunyian lainnya.

Mengenakan gorden dan mahkota kardus, Kristina Khudi diangkat menjadi “putri tundra” di kamp Nenet di dekat Laut Kara. Gadis delapan tahun itu paling menyukai musim panas, saat helikopter yang dikirim oleh Gazprom dan pemerintah setempat membawanya beserta anak-anak lainnya pulang dari sekolah ke keluarga mereka. Pada musim gugur, saat helikopter kembali, sebagian anak bersembunyi di tundra. (Evgenia Arbugaeva)

Baca Juga : Rumah Bheley, Rumah Berlanggam Paduan Madura Cina di Bangkalan

Dan dari sudut pandang ini, pendapat yang mengatakan para penggembala rusa kutub Nenet bisa hidup berdampingan dengan “seimbang” bersama pembangunan minyak dan gas—yang terus-menerus saya dengar dari para pejabat Gazprom, pemerintah setempat, LSM, dan penggembala sendiri—seakan-akan menjadi ilusi.

Fasilitas pengolahan gas baru dijadwalkan akan beroperasi di Bovanenkovo beberapa tahun kedepan. Dua cabang jalur kereta baru saat ini tengah dibangun. Kedua jalur kereta itu akan memotong rute migrasi sebagian besar kawanan rusa Nenet. Hal yang lebih merisaukan bagi Brigade 4, ladang gas baru diperkirakan akan berdiri pada awal 2020-an di pesisir Laut Kara. Itu akan menggerogoti kekayaan padang rumput. 

Gemuruh api gas mendadak berhenti. Di sekitar saya, generasi penggembala Nenet masa depan tengah melatih keterampilan melempar laso pada kereta luncur, anjing, dan satu sama lain, sementara generasi ibu Nenet masa depan sedang menyuapi boneka di dalam tenda mainan.

Di keheningan, bunyi-bunyian yang tak asing kembali terdengar—geraman penggembala, teriakan anak-anak dan lolongan anjing, derap kaki rusa kutub. Selama beberapa waktu, segalanya tampak baik-baik saja di tepi dunia.

Penulis: Gleb Raygorodetsky

Fotografer: Evgenia Arbugaeva