Senandung Sendu Seniman Ketoprak Ketika Terseret Pusaran Geger 1965

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 22 Mei 2019 | 16:00 WIB
Seorang pemain ketoprak baru saja menyelesaikan rias wajahnya. Malam itu dia berperan sebagai warok yang digambarkan berbadan perkasa dengan bulu dada, wajahnya berkumis dan bercambang lebat. Rombongan ketopraknya berpentas di Wado, pinggiran Blora. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Randimo, sesepuh paguyuban ketoprak di Taman Balekambang, Surakarta. Lebih dari 50 tahun dia telah bertualang di pentas ketoprak, dari pentas srandul sampai ketoprak modern. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)
 

“Dulu nama karawitan Paguyuban LEKRA itu disegani,” kata Randimo.“Semua tidak tahu-menahu, yang penting dibayar. Tidak ada rasa takut, karena tidak tahu.”

BAKOKSI (Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia) yang dibentuk LEKRA telah menaungi paguyuban ketoprak dari 275 pada 1957 menjadi  371 pada 1964. Lakon-lakon ketoprak dan kesenian panggung lainnya diadaptasi sebagai propaganda partai. Kesenian rakyat pun menjadi sebuah kegiatan seni yang kritis, progresif, dan radikal. Lewat seni, pandangan dan ide partai disisipkan sehingga masyarakat lebih memahami esensi pesannya.

Para seniman dan budayawan terseret dalam pusaran politik—disadari atau tidak. Ketika bahtera Sukarno terempas badai politik, PKI pun menjadi bulan-bulanan. Peristiwa itu menggayang para seniman LEKRA yang umumnya tak bekerja untuk politik partai.

Randimo bersaksi atas nasib pemain ketoprak menyusul terjadinya penculikan dan pembunuhan para jenderal di Jakarta dan Yogyakarta, akhir September 1965.  Sebuah peristiwa yang lekat dengan ingatan warga Indonesia sebagai sebuah percobaan kup.

Beberapa seniman profesional ketoprak Balekambang Surakarta tengah bersiap pentas. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)