Senandung Sendu Seniman Ketoprak Ketika Terseret Pusaran Geger 1965

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 22 Mei 2019 | 16:00 WIB
Seorang pemain ketoprak baru saja menyelesaikan rias wajahnya. Malam itu dia berperan sebagai warok yang digambarkan berbadan perkasa dengan bulu dada, wajahnya berkumis dan bercambang lebat. Rombongan ketopraknya berpentas di Wado, pinggiran Blora. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Satu kelurahan pria tinggal lima—semuanya kena,” ujarnya. “Teman ketoprak saya banyak sekali yang kena. Tapi, alhamdulillah ada yang tidak dibunuh. Saya selamat.”

Adegan tawur atau perang menjadi daya tarik pemirsanya. Pemain ketoprak membutuhkan kekuatan otot dan nyali. Tidak seperti tayangan film atau sinetron, sedikit lengah badan pemain pun memar. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Kekerasan budaya itu dianggap sebuah kewajaran, sekaligus merupakan pembenaran terhadap antikomunisme. Propaganda politik lewat kesenian—sastra dan film—pada masa itu telah membuat masyarakat Indonesia terjangkiti paranoia.

Selama Orde Baru, lagi-lagi kesenian digunakan untuk melegitimasi kekerasan dalam peristiwa pembantaian massal orang-orang yang diduga terkait komunisme. Kekerasan budaya itu dianggap sebuah kewajaran, sekaligus merupakan pembenaran terhadap antikomunisme. Propaganda politik lewat kesenian—sastra dan film—telah membuat masyarakat Indonesia terjangkiti paranoia. Kendati sebagian orang telah menyadarinya, dampak kebijakan itu masih dirasakan hingga hari ini.

Ketoprak memang telah menjadi corong paling cerdas yang mudah ditangkap oleh indera masyarakat. Keterlibatan ketoprak dalam panggung politik pada awal Republik ini berdiri, akhirnya nyaris membinasakan ketoprak itu sendiri—dan juga nyawa para senimannya. Bagi Randimo, perjalanan hidupnya telah menyimpulkan bahwa para pemain ketoprak itu “belajar dipanggung, pandai juga dari panggung. Tidak berpolitik tetapi dipakai untuk politik.”