Hari Purbakala Nasional dan Misi Mewartakan Pesan Peradaban Nusantara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 14 Juni 2019 | 08:00 WIB
“Melintasi Sangkala di Cekungan Purba”, National Geographic Traveler, November 2013. Cerita tentang kawasan yang menautkan kita dan asal-usul manusia Jawa. (Mahandis Yoanata Thamrin)

“Metropolitan yang Hilang”, National Geographic Indonesia, September 2012. Satu-satunya yang tersisa: Reruntuhan ibu kota dengan jaringan kanal yang menyeruak di permukiman desa. Siapkah kita menerima kemegahannya kembali? (National Geographic Indonesia)

Baca juga:  

Angan di Liyangan”, National Geographic Indonesia, Juni 2015. Cerita tentang krisis tembakau di ngarai Gunung Sundoro yang telah melahirkan berkah dan kegairahan baru bagi warga dusun dalam memerami tinggalan leluhur mereka. (National Geographic Indonesia)
 

“Tapak Jejak Pitarah Sumatra”, National Geographic Indonesia, Januari 2013. Harimau mengekalkan gambar cadas dan kompleks permakaman purba terpadat dan terlangka di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Kisah feature ini juga menampilkan infografis reka ulang kehidupan Gua Harimau, konteks gambar cadas, denah gua. (National Geographic Indonesia)
 

Kita menyukai penjelajahan. Sejak nenek moyang kita meninggalkan Afrika sekitar 75.000 tahun silam, dorongan untuk melintasi batas pengetahuan manusia telah membentuk kebudayaan kita. Tampaknya, kita mewarisi jiwa nenek moyang yang tak lelah mengembara. Saya beberapa kali berkesempatan mengikuti ekskavasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Lewat penjelajahan, saya juga menyaksikan betapa para arkeolog berupaya menyingkap berbagai temuan—yang mencengangkan—tentang peradaban kita pada masa silam. Dari temuan sepetak kawasan di Trowulan yang diduga bagian dari keraton Majapahit, peradaban gua dan makna gambar cadas, hingga temuan kapal selam semasa perang dunia kedua.

Kita juga dapat mengubah pemahaman masyarakat melalui bagaimana cara bertutur. Salah satu kiatnya, kita mencoba mewartakan kepada masyarakat, dengan cara melibatkan mereka dalam tema-tema penting dan mendesak. Harapannya, masyarakat bisa lebih memahami permasalahan dan turut dalam proses pelestarian lantaran tema tersebut bagian dari kehidupan mereka. 

Fenomena Belenggu Arkeokrat?

Saya mengadaptasi istilah yang digunakan Andrew Goss dalam judul bukunya Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia, terbit pada awal dekade ini. Goss bercerita tentang ilmuwan-ilmuwan botani di Indonesia yang terjebak dalam kelas birokrat—yang dia juluki “Floracrats”. Kendati ilmuwan, mereka terbelenggu oleh segala aturan negara tentang apa yang seharusnya mereka teliti.

Saya melihat ada kemiripan dengan apa yang terjadi dalam dunia ilmuwan arkeologi di negeri ini. Para peneliti sebuah situs yang berpotensi memiliki temuan akbar, tampaknya harus rela untuk meneliti dalam jangka waktu yang sangat pendek. Penelitian pasti menghasilkan temuan, namun berjalan sangat pelan. Saya memahaminya, mungkin karena dana yang terbatas, atau juga penelitian itu belum menjadi prioritas negara.

Baca juga: Ketika Ahli Arkeologi Singkap Pluralisme Prasejarah Nusantara

“Memburu Sang Pemburu”, National Geographic Indonesia, Mei 2014. Sekawanan U-boot, serigala kelabu yang paling ditakuti selama Perang Dunia II, menggerayangi perairan Nusantara dalam senyap. Ahli arkeologi berhasil menyingkap satu misteri persemayamannya di Laut Jawa. (National Geographic Indonesia)

Sampul edisi perdana majalah National Geographic Indonesia, April 2005, yang mengungkap temuan fosil Homo Floresiensis. Dan, sampul edisi Juni 2016 yang mengisahkan tentang benda cagar budaya dan koleksi museum yang hilang: Menjarah Masa Depan. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia.)
 
Baca juga: