Kita menyukai penjelajahan. Sejak nenek moyang kita meninggalkan Afrika sekitar 75.000 tahun silam, dorongan untuk melintasi batas pengetahuan manusia telah membentuk kebudayaan kita. Tampaknya, kita mewarisi jiwa nenek moyang yang tak lelah mengembara. Saya beberapa kali berkesempatan mengikuti ekskavasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Lewat penjelajahan, saya juga menyaksikan betapa para arkeolog berupaya menyingkap berbagai temuan—yang mencengangkan—tentang peradaban kita pada masa silam. Dari temuan sepetak kawasan di Trowulan yang diduga bagian dari keraton Majapahit, peradaban gua dan makna gambar cadas, hingga temuan kapal selam semasa perang dunia kedua.
Kita juga dapat mengubah pemahaman masyarakat melalui bagaimana cara bertutur. Salah satu kiatnya, kita mencoba mewartakan kepada masyarakat, dengan cara melibatkan mereka dalam tema-tema penting dan mendesak. Harapannya, masyarakat bisa lebih memahami permasalahan dan turut dalam proses pelestarian lantaran tema tersebut bagian dari kehidupan mereka.
Fenomena Belenggu Arkeokrat?
Saya mengadaptasi istilah yang digunakan Andrew Goss dalam judul bukunya Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia, terbit pada awal dekade ini. Goss bercerita tentang ilmuwan-ilmuwan botani di Indonesia yang terjebak dalam kelas birokrat—yang dia juluki “Floracrats”. Kendati ilmuwan, mereka terbelenggu oleh segala aturan negara tentang apa yang seharusnya mereka teliti.
Saya melihat ada kemiripan dengan apa yang terjadi dalam dunia ilmuwan arkeologi di negeri ini. Para peneliti sebuah situs yang berpotensi memiliki temuan akbar, tampaknya harus rela untuk meneliti dalam jangka waktu yang sangat pendek. Penelitian pasti menghasilkan temuan, namun berjalan sangat pelan. Saya memahaminya, mungkin karena dana yang terbatas, atau juga penelitian itu belum menjadi prioritas negara.
Baca juga: Ketika Ahli Arkeologi Singkap Pluralisme Prasejarah Nusantara