Siapakah Komaruddin Hidayat, Santri Sederhana Asal Muntilan yang Ditunjuk Sebagai Rektor UIII?

By , Selasa, 4 Juni 2019 | 14:20 WIB
Ketua Komite Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat didampingi Anggota Komite Bachtiar Effendi berbincang dengan Presiden Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia (UIIM) Tan Sri Rais Yatim di kampus Univ Islam Antar Bangsa Malaysia, Kuala Lumpur Senin (6/2/201 (HO)

Nationalgeographic.co.id - Siapakah tokoh cendekiawan muslim yang baru saja ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Apa saja prestasinya sehingga ia dapat menduduki jabatan itu?

"Betul, Keppres pengangkatan Prof Komar sudah ditandatangani Presiden. Itu jika enggak salah, akhir bulan Mei 2019 kemarin," ujar Staf Khusus Presiden Siti Ruhaini, Selasa (4/6/2019).

Penunjukan dilakukan melalui penerbitan surat Keputusan Presiden Nomor 37/M Tahun 2019 tentang Pengangkatan Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia. 

Baca Juga: Dari Mahometan ke Muslim Kiwi: Sejarah Muslim di Selandia Baru

Ketua Komite Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat menerima cinderamata dari Presiden Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia (UIIM) Tan Sri Rais Yatim di kampus Univ Islam Antar Bangsa Malaysia, Kuala Lumpur Senin 06/02/2017. Dalam pertemuan tersebut Komi (HO)

Mari kita berkenalan dengan sang tokoh. Nama lengkapnya, Komaruddin Hidayat. Ia lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953; Komar, sapaan karibnya, pernah menjadi rektor Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta untuk periode 2006-2010.Selain sebagai akademisi, ia juga menjadi penulis kolom di beberapa media massa. Kemampuan inteletualitasnya ia tunjukkan dengan menjadi peneliti di beberapa lembaga kajian dan penelitian.

Komar lahir di keluarga miskin di Muntilan.Meski keadaan tidak menguntungkan, ia memiliki motivasi kuat dalam meraih pendidikan yang terbaik. Untuk meraih keberhasilan, Komar memiliki motivasi besar yang dilatarbelakangi empat hal.

Baca Juga: Santri-santri Bengal Zaman Kolonial

Ketua Komite Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat didampingi Anggota Komite Bachtiar Effendi berbincang dengan Presiden Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia (UIIM) Tan Sri Rais Yatim di kampus Univ Islam Antar Bangsa Malaysia, Kuala Lumpur Senin (6/2/201 (HO)

Empat hal inilah yang menjadi titik balik bagi hidupnya. Pertama, kondisi kampung halaman yang menyedihkan. Kedua, wafatnya ibu sejak kecil. Ketiga, sosok neneknya, Qomariyah, yang arif dan menanamkan semangat kehidupan yang besar. Keempat, hadirnya sosok Kiai Hamam Ja’far dan kondisi pesantren yang menjadi latar sosial tempat dirinya tumbuh menjadi sosok yang dewasa.Nenek Komar adalah orang yang arif.Ia menggantikan peran ibu yang telah meninggalkannnya sejak kecil. Selain kagum terhadap neneknya, Komar juga mendapat dorongan motivasi dari Kiai Hamam Ja’far di Pesantren Pabelan, Magelang.

Komar menilai, sosok Kiai Hamam yang sudah dianggap sebagai ayahnya itu seperti sosok Nabi Musa. Yakni, figur pemimpin, panutan, dan pemberi petunjuk yang selalu bersikap keras untuk menaklukkan ketimpangan dan kemiskinan.

Baca Juga: FOTO: Minoritas Muslim Di Amerika

Ketua Komite Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat didampingi Anggota Komite Bachtiar Effendi berbincang dengan Presiden Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia (UIIM) Tan Sri Rais Yatim di kampus Univ Islam Antar Bangsa Malaysia, Kuala Lumpur Senin (6/2/201 (HO)
Kiai Hamam mengajarkan Komar bahwa manusia punya hak untuk merdeka, untuk hidup. Kiai Hamam menunjukkan semangat dan etos kerja tinggi yang ditunjukkan Nabi ketika hijrah. Komar juga mendapat pesan bahwa prinsip hidup harus seperti air. Kalau mengenang saja, ia akan menjadi sumber penyakit, sementara apabila mengalir, ia akan menjadi bersih.Berkat motivasi tersebut, Komar merantau ke Jakarta pada usia 18 tahun sehingga akhirnya beberapa capaian ia raih, antara lain mendapat kesematan belajar di luar negeri dan menjadi rektor universitas.

Ia juga telah berkeliling ke 30 negara dalam rangka seminar dan studi komparatif untuk masalah kebudayaan dan pengembangan keagamaan dengan berbagai universitas dan LSM.

Sejak kecil Komar dekat dengan dunia Islam utamanya pesantren. Komarudin merupakan Alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana Lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta.Komar melanjutkan studi doktoral ke luar negeri. Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990).

Baca Juga: Agar Terhindar dari Penyakit, Berikut Kiat Makan Sehat Saat LebaranPada 17 Oktober 2006, dalam rapat senat yang dipimpin oleh Azyumardi Azra, di Auditorium utama UIN Syarif Hidayatullah, Komar terpilih sebagai rektor universitas tersebut. Ia memenangi pemilihan suara atas dua kandidat lainnya yakni Prof. Dr. Masykuri Abdillah dan Prof. Dr. Suwito.Komar merupakan kolumnis di beberapa media massa seperti Harian Kompas dan Seputar Indonesia dan Republika. Selaku akademisi, Komar menjadi Dosen pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1990), dosen pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia (sejak 1992), dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 1993).Selain sebagai dosen, ia juga sebagai Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak 1991), Dewan Redaksi jurnal Studia Islamika (sejak 1994), Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic World, dan Direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sejak 1995). Sejak tahun 1990, ia merupakan salah satu peneliti tetap Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.

Komaruddin Hidayat pemikir dan cendekiawan muslim Indonesia dalam wawancaranya dengan wartawan the Jakarta Post menegaskan, “Siapa saja yang tidak mengakui keberadaan Syiah pada hakikatnya tidak memiliki pengenalan sedikitpun dengan sejarah Islam. Karena tidak satupun ulama Sunni yang mengingkari peran dan kontribusi besar Iran dalam peradaban Islam.”